Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa pada sepanjang 2022 Indonesia telah berhasil memulihkan perekonomian secara lebih baik usai tekanan hebat akibat pandemi COVID-19 dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Menkeu, hal itu tercermin dari pertumbuhan di semua regional nusantara yang mencatatkan hasil positif. Sumatera misalnya yang tumbuh 4,71 persen hingga akhir kuartal III 2022. Kemudian Jawa dengan 5,76 persen, Kalimantan 5,67 Persen, Sulawesi 8,24 persen, serta Papua dan Maluku sebesar 7,51 persen.

Momentum pemulihan yang kuat nampak jelas di kawasan Bali dan Nusantara dengan bukuan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,69 persen. Padahal, wilayah ini sebelumnya masih terkontraksi akibat sektor pariwisata yang belum membaik.

“Pertumbuhan di semua kawasan sudah positif dan cukup tinggi. Ini merupakan hal yang luar biasa,” ujarnya melalui saluran virtual saat menyambangi STKIP PGRI Sumenep, Kamis, 2 Februari.

Menkeu menjelaskan, apa yang terjadi di Indonesia sebagai sesuatu hal yang tidak biasa (anomaly).

Pasalnya, kebangkitan ekonomi RI justru bertolak belakang dengan kondisi global yang tengah mengalami pemburukan situasi.

“Padahal dunia sedang melemah lagi. Jadi saat IMF menyampaikan kalau dunia akan gelap gulita, Indonesia sebetulnya dalam posisi yang pemulihannya meningkat sangat pesat,” tegas dia.

Menkeu mencatat, pertumbuhan ekonomi global pada 2022 diperkirakan hanya sekitar 2,9 persen. Angka itu turun signifikan dari 2021 yang sebesar 6,2 persen.

“Tahun ini akan melemah lagi (dari 2022). Inilah yang harus kita waspadai pascapandemi, yaitu pelemahan yang signifikan,” tuturnya.

Pemerintah sendiri optimistis pertumbuhan ekonomi pada 2022 kemarin bisa berada di rentang 5,2 persen hingga 5,3 persen secara full year. Adapun, untuk 2023 diupayakan tetap bertengger di level psikologis 5 persen dengan perkiraan konservatif sebesar 4,5 persen.

Dalam catatan VOI, setidaknya terdapat lima tantangan yang perlu diwaspadai untuk periode tahun ini. Pertama, peningkatan tensi geopolitik. Kedua, inflasi global yang belum sepenuhnya jinak dan kembali ke level normal.

Ketiga, tingkat suku bunga yang masih tinggi. Empat, penurunan ekonomi di negara-negara maju, seperti Amerika, China, dan wilayah Eropa. Serta yang kelima adalah kebijakan fiskal yang makin sempit karena telah diperlebar selama masa awal pandemi COVID-19.

Walau begitu, terdapat pula sinyal yang bisa menjadi harapan untuk 2023, seperti mulai melandainya harga komoditas, pembukaan ekonomi China sebagai lanjutan dari pelonggaran kebijakan zero covid policy, dan penguatan pemulihan negara emerging di Asia (India, ASEAN).