Pertumbuhan Impor Bakal Lebih Tinggi dari Ekspor pada Tahun Ini, Ekonom Bank Mandiri: Neraca Dagang Masih Tetap Surplus
JAKARTA - Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan pertumbuhan impor akan lebih tinggi dibandingkan ekspor pada 2023, yang didorong penguatan permintaan domestik.
Menurut dia, permintaan domestik pada 2023 didorong oleh pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dan keputusan untuk melanjutkan proyek strategis nasional (PSN), sebagaimana keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Namun demikian, Faisal mengatakan pertumbuhan impor pada 2023 cenderung melemah dibandingkan 2022, karena harga minyak yang turun dan antisipasi penurunan ekspor.
Sedangkan, ia menyebut pelambatan pertumbuhan ekspor pada 2023 disebabkan oleh penurunan harga komoditas, terutama batu bara, yang didorong oleh permintaan global yang lesu di tengah meningkatnya risiko perlambatan ekonomi global.
"Meski diproyeksikan menyusut, surplus neraca perdagangan bisa bertahan lebih lama karena kita melihat penurunan harga komoditas lebih bertahap," kata Faisal dikutip Antara, Jumat 6 Januari.
Baca juga:
- RI Bakal Kehilangan Pendapatan karena Kebijakan Royalti Nol Persen Hilirsasi Batu Bara
- Perlancar Arus Barang Impor, Menkeu Sri Mulyani Terbitkan Aturan Baru Kepabeanan
- Cadangan Devisa Meningkat Jadi 137 Miliar Dolar AS Didorong Penarikan Utang Pemerintah
- Antisipasi Lonjakan Harga Minyak dan Kurangi Impor Solar, B35 Resmi Berlaku Mulai 1 Februari
Ia juga memperkirakan cadangan devisa nasional akan berada di kisaran 135-140 miliar dolar AS pada akhir 2023 atau tidak terlalu jauh dibandingkan sebesar 137,2 miliar dolar AS pada Desember 2022.
"Kami mengantisipasi bahwa neraca transaksi berjalan akan berubah menjadi defisit yang dapat dikelola sekitar 1,10 persen dari PDB pada 2023 dari perkiraan surplus sebesar 1,05 persen dari PDB pada 2022," kata Faisal.
Sedangkan, terkait neraca keuangan, dia memperkirakan akan menghadapi sejumlah tantangan pada 2023, namun potensinya tetap terlihat.
Beberapa tantangan tersebut di antaranya adalah meningkatnya kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global yang bisa memicu sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, karena investor cenderung beralih ke aset safe-haven.
Selain itu, pembukaan kembali ekonomi China yang bisa menarik investor untuk mencari penyeimbangan portofolio di Asia.
Namun demikian, ia menyebut kebijakan pemerintah untuk terus melakukan hilirisasi sumber daya alam dapat menarik lebih banyak aliran investasi langsung ke Indonesia.
Selain itu, lanjut Faisal, upaya mempertahankan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam juga dapat menghambat penempatan aset ke luar negeri.