JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemberian royalti nol persen kepada perusahaan batu bara di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja sangat tidak tepat.
Menurut dia, hal tersebut akan memberikan dampak negatif bagi Indonesia.
"Aturan produk hilirisasi batu bara berupa dimetil eter (DME) secara ekonomi lebih mahal dibandingkan impor LPG, sehingga sangat tidak tepat diberi insentif," kata Bhima kepada VOI, Jumat, 6 Januari.
Bhima menambahkan, kebijakan mengenai nol persen royalti hilirisasi batu bara dalam Perppu Cipta Kerja nantinya bisa menyebabkan Indonesia kehilangan pendapatannya.
Sehingga, kata Bhima, hal tersebut dapat berpengaruh pada rencana pemerintah untuk menurunkan desifisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada 2023, yang mana saat ini sedang terjadi windfall komoditas.
Menurut dia, seharusnya hilirisasi batu bara dapat dikenakan pajak tambahan, bukan malah mendapatkan stimulus.
"Penggunaan batu bara bertentangan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, karena emisi yang dihasilkan produk turunan batu bara tetap tinggi. Idealnya porsi royalti batu bara dinaikkan menjadi 15 sampai 20 persen," tandasnya.
BACA JUGA:
Adapun kebijakan rolyati nol persen hilirisasi batu bara tersebut diatur dalam Perppu Cipta Kerja Pasal 128A ayat (2), yang berbunyi, "Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan batu bara dapat berupa pengenaan iuran produksi/royalti sebesar nol persen."