Bagikan:

JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan tarif royalti batu bara mendapat tanggap positif dari Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia.

Ia mengungkapkan pihaknya memahami keinginan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara bagi pemegang Izin Usaha IUPK OP eks-PKP2B dan tidak keberatan jika pemerintah menaikkan tarif royalti.

"Karena itu juga amanat UU Minerba. Tapi kenaikan tarif tersebut seharusnya masih dalam batas kemampuan perusahaan, yang mana kita perlu lihat outlook ke depan usaha batu bara juga tantangan makin berat," ujarnya kepada VOI, Kamis 10 Maret.

Ia juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kendala-kendala yang akan dihadapi pengusaha seperti tambang-tambang bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah berusia lebih dari 30 tahun.

"Tentu saja biaya produksinya akan semakin meningkat dan membebani perusahaan," imbuhnya.

Hendra melanjutkan, meskipun dua tahun belakangan ini average selling price terbilang cukup tinggi, kebijakan untuk menaikkan tarif royalti perlu melihat jangka panjang agar perusahaan bisa bertahan di tengah era transisi energi dan ketahanan energi bisa tetap terjaga.

"Di sisi lain negara juga bisa mendapat manfaat dari sisi penerimaan negara," ucapnya.

Ia mengungkapkan akan ada dua Peraturan Pemerintah (PP) yang diterbitkan terkait pengaturan tarif royalti batubara revisi PP 91/2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang akan mengatur tentang tarif royalti batu bara bagi pemegang IUP, dan PP tentang Perlakuan Perpajakan Industri Batubara yang akan mengatur tarif royalti bagi pemegang IUPK OP.

Hendra membeberkan, saat ini tarif royalti pemegang PKP2B atau generasi 1, 2, dan 3 sebesar 13.5 persen. Sedangkan bagi pemegang IUP tarifnya bervariasi, 3 persen, 5 persen dan 7 persen berdasarkan kalori batu bara yang dihasilkan.