Bagikan:

JAKARTA - Harga batu bara yang kian melambung menjadi dilema bagi anggota Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI). Pasalnya, harga Domestic Market Obligation (DMO) dipatok sebesar 70 dolar AS per ton.

"Kalau dilihat dari disparitas harganya memang ini sangat dilematis bagi kami pengusaha," ujar Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia saat menajdi pembicara dalam webinar Market Review di IDX Channel, Senin 7 Maret.

Meski demikian, asosiasi tetap berkomitmen untuk memenuhi kewajibannya untuk tetap melaksanakan kontrak penjualan batu bara kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN).

"APBI ini anggotanya 70-an perusahaan dan berkontribusi sebesar 70 persen terhadap produksi nasional, sejak awal kami komit untuk tetap lakukan kewajiban kami," lanjutnya.

Pemerintah menetapkan besaran DMO sebanyak 25 persen dari rencana jumlah produksi batu bara tahunan dari setiap produsen dengan harga capping 70 dollar AS per MT. Namun, Hendra mengungkapkan dalam 3 tahun terakhir ini, pemenuhan kewajiban ini meleset dari target yang sudah ditetapkan pemerintah.

"Selama tiga tahun inni realisasi berada di bawah 25 persen. Salah satu alasannya karena demand-nya juga berada di bawah 25 persen," kata dia.

Hendra mengungkapkan di tengah ketidakpastian ini, asosiasi sedikit lega dengan pernyataan PLN yang mengungkapkan pasokan batu bara milik PLN masih berada di batas aman sehingga tidak akan ada krisis batu bara.

"Menyikapi ini, perusahaan mematuhi pelaksanaan pasokan ke PLN dan memang ada perubahan sistem di PLN untuk mendata inventory. Kita lega ada pasokan dan masih aman," kata dia

Dikutip dari Antara, sepanjang Februari, harga batu bara sudah menguat sebesar 38,22 persen secara month over month. Memasuki Maret, harga batu bara kembali tancap gas dengan menyentuh level 446 dolar AS per ton.

Bahkan jika dihitung secara year to date, harga batu bara telah menguat hingga 233,83 persen.