Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan penetapan tarif baru jasa kepelabuhanan di Pelabuhan Muara Berau, Samarinda, Kalimantan Timur, berpotensi menghambat proses alih muat atau ship to ship transfer (STS) batu bara yang setiap tahun lebih dari 90 juta ton dikirim untuk tujuan ekspor dan domestik.

Ketua APBI Pandu Sjahrir mengatakan, para produsen batu bara (shipper), perusahaan pemilik floating crane (FC), dan perusahaan bongkar muat (PBM) anggota APBI yang menggunakan pelabuhan alih muat di Muara Berau Samarinda mengkhawatirkan terganggunya kegiatan usaha yang selama ini berjalan lancar.

Hal itu, lanjut Pandu, setelah ada kebijakan Kementerian Perhubungan pada 24 Juli 2023 yang menetapkan rekomendasi tarif jasa kepelabuhanan kepada PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB) yang merupakan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) di Pelabuhan Muara Berau Samarinda. Tarif baru ini akan diberlakukan oleh PTB efektif per 1 Oktober 2023. PTB mengelola konsesi yang diberikan oleh pemerintah selama 25 tahun.

"APBI menolak dengan tegas atas penetapan rekomendasi tarif jasa kepelabuhanan oleh Kementerian Perhubungan ini karena ditetapkan secara sepihak oleh Kementerian Perhubungan meskipun sebelumnya masih dalam proses pembahasan (bisnis proses dan tarif) yang melibatkan Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, PTB dan APBI," kata Pandu dikutip dari ANTARA, Jumat, 29 September.

Menurut Pandu, dengan penetapan rekomendasi tarif baru ini maka seluruh kegiatan STS di Pelabuhan Muara Berau Samarinda akan dimonopoli oleh PTB.

"APBI sangat keberatan dengan adanya monopoli dalam bisnis proses di mana proses yang berjalan saat ini akan berubah sehingga pihak shipper tidak bisa menunjuk langsung pemilik FC atau PBM, namun harus melalui PTB," ujarnya.

Tarif yang baru tersebut menurut pihak shipper (produsen batu bara), akan menambah beban biaya sekitar 0,82 dolar AS/Metrik Ton (MT) untuk kapal Gearless dan sekitar 0,42 dolar AS/MT untuk kapal Geared and Grabbed, yang mana tarif tersebut akan diterima oleh pihak PTB tanpa melakukan layanan jasa.

Pandu mengatakan, perusahaan keberatan membayar tarif karena berpegang pada prinsip umum di dunia usaha yaitu “no service no pay”.

Selain itu, penambahan beban biaya tersebut akan berpotensi terhadap penurunan penerimaan negara baik melalui pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor energi dan sumber daya mineral.

Sebagian besar pemilik FC hingga saat ini belum melakukan registrasi untuk masuk ke dalam sistem ORBIT yang diaplikasikan oleh PTB yang menjadi prasyarat proses bisnis.

"Plt Kepala KSOP Samarinda menegaskan kepada pemilik FC tidak akan memberikan pelayanan kepada pemilik FC jika tidak melakukan registrasi ke PTB sesuai suratnya per tanggal 26 September 2023," kata Pandu.

Jika kondisi ini berlanjut hingga tarif diberlakukan per 1 Oktober 2023 maka kemungkinan proses alih muat batu bara akan terhambat, sehingga ekspor dan maupun pasokan ke PLN dari Pelabuhan Muara Berau akan terganggu, tambahnya.

APBI juga keberatan tidak diakomodasi sebagai pihak yang dilibatkan dalam proses konsultasi usulan tarif jasa kepelabuhanan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 121 Tahun 2018.

Seharusnya APBI yang beranggotakan lebih dari 90 perusahaan pertambangan batu bara sebagai shipper merupakan salah satu pihak yang sangat berkepentingan dan bahkan akan sangat dirugikan jika ada usulan penetapan tarif tanpa persetujuan dari APBI.

Pandu Sjahrir menyerukan kepada pemerintah untuk membantu mencarikan solusi baik bagi pihak shipper, perusahaan pemilik FC maupun juga pihak PTB agar proses pengapalan batu bara dari Muara Berau bisa berjalan lancar dan negara tidak dirugikan.