Sebut 83 Persen Investasi yang Masuk ke Indonesia Berbasis Otot, Ekonom Faisal Basri: Tak Berkualitas, Kurang Investasi di IT dan Riset
JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan investasi yang masuk ke Indonesia tak berkualitas.
Faisal menganalogikan investasi yang masuk sejauh ini berbasis otot atau pembangunan fisik, bukan otak seperti investasi di bidang informasi dan teknologi (IT) hingga riset.
Berdasarkan data Asia Productivity Organization, kata Faisal, sebanyak 83 persen penanaman investasi di tanah air berkaitan dengan konstruksi dan bangunan. Sementara, 10 persennya berupa modal bagi non-IT.
Kemudian, lanjut Faisal, hanya 4 persen investasi berkaitan dengan pembangunan transportasi. Lalu, 3 persen investasi di bidang IT.
Lebih lanjut, Faisal mengatakan, angka tersebut menunjukkan semakin tingginya pertumbuhan investasi yang masuk ke Tanah Air, namun disayangkan kurang berkualitas.
“Jadi dari sini saja menunjukkan semakin besar ini pertumbuhannya semakin tidak berkualitas karena investasi yang didengung-dengungkan itu sekedar bikin ibu kota, LRT, MRT, kereta cepat, oke kita tidak menolak tetapi harus diiringi oleh suntikan otak dalam bentuk IT Capital, Other non-IT Capital dan R&D,” ucapnya dalam catatan awal tahun Indef 2023, Kamis, 5 Januari.
Baca juga:
- Menakar Pembengkakan Utang Rp418 Triliun dalam Empat Bulan, Yakin Masih Aman?
- Ekonom: Meski Pahit, Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi Harus Bisa Dipahami
- Menteri BUMN: Jika Terus Ditunda, Anggaran Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung Bisa Membengkak Tahun Depan
- Ekonom Faisal Basri Sebut Dana Kompensasi Bakal Gerus Keuangan BUMN
Dari data Asia Productivity Organization itu, kata Faisal, tidak ada investasi yang masuk berkaitan dengan riset dan pengembangan atau research and development (R&D).
“Ini disayangkan. Bila R&D kuat maka ada kemampuan inovasi membangun Indonesia supaya semakin berdaya saing,” katanya.
Apalagi, lanjut Faisal, sektor industri Indonesia juga mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan kurangnya riset dan inovasi pada industri di Indonesia.
“Kalau R&D-nya jelek, maka inovasinya juga jelek. Sehingga industrinya jadi tidak berdaya saing,” ujarnya.