Tiga Fase Reshuffle Kabinet pada Era Orde Lama
JAKARTA - Reshuffle kabinet di zaman pemerintahan Presiden Soekarno atau Orde Lama (Orla) terbagi ke dalam tiga fase. Pertama era perjuangan kemerdekaan (1945-1949), kedua fase demokrasi parlementer (1949-1959), dan ketiga zaman demokrasi terpimpin (1959-1968).
Dari ketiga fase tersebut, Soekarno memimpin langsung perombakan kabinet, kecuali di dua tahun terakhir masa kepemimpinannya pada 1966 sampai 1968. Saat itu kabinet dipimpin oleh Presiden Soeharto, sebagai ketua presidium dan sebagai pejabat presiden dari tahun 1967 hingga 1968.
Seperti dijelaskan Ridho Al-Hamdi dalam buku Paradigma Politik Muhammadiyah (2020) pada era perjuangan kemerdekaan, terjadi sembilan kali perubahan kabinet. Sementara di era demokrasi parlementer, utak-atik menteri terjadi 10 kali.
"Pada era demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno bertindak selaku presiden sekaligus perdana menteri, sehingga kekuasaannya tunggal (monopower) dan perubahan kabinet hanya terjadi pada posisi menteri-menteri,” tulis Al-Hamdi.
Setelah selesai masa pemerintahan Bung Karno, Soeharto bertindak sebagai ketua presidium di Kabinet Ampera I (1966-1967) dan pejabat presiden di Kabinet Ampera II (1967-1968), baru kemudian berganti ke era Orde Baru di mana Soeharto diangkat jadi presiden. Tercatat, ada 28 kali pergantian kabinet selama era Orla.
Dalam pergantian itu, menurut Ridho Al-Hamdi kader-kader dari Muhammadiyah tampak mengisi jabatan menteri/perdana menteri di 20 kali pergantian kabinet. Artinya, ada delapan kabinet di mana Muhammadiyah tidak mendapatkan posisi menteri sama sekali.
“Delapan kabinet itu adalah Kabinet Presidensial, Kabinet Amir Sjarifuddin I, Kabinet PDRI (Sjafruddin), Kabinet Susanto, Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Kabinet Dwikora I, Kabinet Ampera I, dan Kabinet Ampera II. Dari 28 kali pergantian kabinet tersebut, dapat diidentifikasi setidaknya 16 orang yang dikategorikan sebagai anggota dan kader Muhammadiyah,” jelas Al-Hamdi.
Alasan reshuffle
Ada sejumlah faktor mengapa presiden melakukan reshuffle. Hal itu dijelaskan Anna Luthfie dalam bukunya Merindu Pemimpin Negarawan (2020). Kata Luthfie, salah satu alasannya yakni menurunnya tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintah. Oleh karena itu, pergantian menteri menjadi dinamis, sekalipun tidak ada aturan detail mengenai kapan idealnya kabinet perlu dirombak.
Semuanya kembali pada otoritas serta prerogatif presiden yang memilih, mengangkat, dan melantik menteri. Kabinet adalah jajaran pembantu presiden.
“Perdebatan terkait kapan waktu ideal sebuah kabinet perlu reshuffle tentu bergantung pada presiden. Namun, presiden tidak hidup dalam ruang hampa politik. Persepsi publik tentu menjadi bahan pertimbangan presiden untuk lebih meningkatkan kinerja pemerintahannya, apalagi Presiden Jokowi lahir dan dibesarkan bukan bermodal sebagai pejabat partai politik, namun lebih banyak memiliki modal sosial dari publik,” tulis Anna Luthfie.
Baca juga:
Masih menurut Luthfie, dalam sejarah pemerintahan Indonesia, jarang sekali ada pergantian menteri dilakukan pada semester pertama periode pemerintah. Pergantian menteri, kata Luthfie biasanya dilakukan setelah setahun pelantikan.
Alasan lainnya ihwal terjadinya pergantian kabinet yakni karena adanya ketidakstabilan pemerintahan. Problema itu dilihat dari kebiasaan presiden mengangkat menteri dari pimpinan partai politik yang berkoalisi dengannya. Akibatnya, ketika salah satu koalisi yang tak mendapatkan jatah, lalu berkampanye menyerukan adanya reshuffle kabinet ketika terdapat suatu pelanggaran.