Hadapi Perlambatan Ekonomi Global, Pemerintah Diminta Jaga Daya Beli Masyarakat dan Konsumsi Domestik

JAKARTA - Peneliti Indef (Institute for Development of Economics and Finance) Andry Satrio Nugroho, mengungkapkan Indonesia punya pekerjaan rumah besar ke depan ketika ekonomi dunia dihadapkan pada ketidakpastian yakni, menjaga daya beli masyarakat dan konsumsi domestik.

"PR-nya adalah bagaimana menjaga daya beli masyarakat," ujar Andry, Rabu, 21 Desember.

Menurut Andry, pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada daya beli masyarakat. Artinya, kata dia, ketika daya beli masyarakat terjaga maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih berpeluang besar mampu menghadapi dampak perlambatan ekonomi global.

"Sebetulnya kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup sederhana, bagaimana daya beli masyarakat terjaga, mereka bisa konsumsi tanpa terganggu, mereka bisa usaha tanpa terganggu oleh ketidakpastian pasokan bahan baku atau regulasi yang ada. Mungkin akan terdampak tapi dampaknya tidak terlalu besar," jelasnya.

Andry memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 juga tidak menyentuh angka 5 persen. Hal itu sedikit-banyak dipengaruhi oleh krisis pangan dan energi yang terjadi akibat perang Rusia-Ukraina.

"Kalau berbicara terkait target pertumbuhan ekonomi dari Indef angkanya 4,8 persen dan kita melihat beberapa lembaga internasional sudah menurunkan angka pertumbuhan ekonomi global. Salah satunya adalah masih adanya ketidakpastian yang akan hadir akibat krisis geopolitik yang mengakibatkan krisis energi dan pangan yang masih dirasakan oleh banyak negara, terutama negara maju," terangnya.

Kendati demikian, tambah Andry, Indonesia masih bisa bernapas karena ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekonomi global. Sebab Indonesia tidak menempati posisi utama dalam mata rantai pasok global.

"Tentunya Indonesia sebenarnya tidak terlalu terdampak karena salah satunya konektivitas dengan negara di luar Indonesia cenderung rendah. Artinya kita bisa melihat bisa menjadi bagian dari global supply chain itu juga masih rendah," pungkasnya.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Bank Pembangunan Asia atau ADB yang semula memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,4 persen dan memangkasnya menjadi 5 persen.

Ada pula Bank Dunia (World Bank) serta OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 di bawah 5 persen. Hal itu sejalan dengan prospek perlambatan ekonomi global.

"Kemudian OECD dari 5,3 persen menjadi 4,7 persen dan IMF dari 5,3 persen menjadi 5 persen. Tapi semua koreksi masih di angka 4,7 sampai 5 persen," kata Airlangga.

Stabilitas Domestik

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan, sejumlah lembaga internasional mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena faktor ketidakpastian global. Namun satu hal, proyeksi tersebut masing positif.

"Mereka mengoreksi karena faktor ketidakpastian global. Memang banyak hal yang harus diwaspadai. Tapi kalau kita cermati ada kesamaan pandangan bahwa indonesia akan tetap tumbuh positif tahun 2023," kata Piter, Rabu, 21 Desember.

Perbedaannya, lanjut Piter, adalah besaran ekonomi akan tumbuh. Pertumbuhan ekonomi di kisaran 4 sampai dengan 5 persen adalah baseline scenario, jika pandangan optimisnya bisa di atas 5 persen.

Piter mengatakan, kestabilan dalam negeri perlu diwaspadai. Sebab perekonomian Indonesia lebih disupport oleh permintaan domestik. Kalau permintaan domestik tetap terjaga, kata dia, maka ekonomi akan tumbuh baik.

"Yang lebih perlu diantisipasi adalah pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya berakhir. Jangan sampai terjadi seperti di China. Risiko ini yang harus dimitigasi," tandas Piter.