Antisipasi Kondisi Ekonomi 2023, Bos OJK Minta Pelaku Usaha Tak Terlena Laba Tinggi: Lebih Baik Perkuat Pencadangan Daripada Bagi-bagi Dividen
JAKARTA – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar berpendapat bahwa perjalanan ekonomi, utamanya global, pada sepanjang 2023 bakal diwarnai dengan beragam dinamika. Menurut dia, terdapat sejumlah indikasi yang menyebabkan periode mendatang cukup menantang.
Mahendra mengungkapkan setidaknya terdapat dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu ekonomi dunia akan mengalami soft landing atau hard landing. Disebutkan bahwa sepasang ramalan tersebut tidak cukup memberi dampak yang signifikan terhadap perbaikan ekonomi.
“Saya rasa kita tidak ragu lagi bahwa kondisi global tahun depan kemungkinannya akan soft landing atau hard landing,” ujarnya saat berbicara di forum Outlook Perekonomian Indonesia 2023 pada Rabu, 21 Desember.
Mahendra menjelaskan, kondisi ‘pendaratan mulus’ berarti terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan tingkat inflasi masih di level atas.
“Jadi ekonomi melemah dengan inflasi yang masih ada (tinggi) tapi mulai rendah dari sekarang,” tuturnya.
Adapun, untuk hard landing berarti pertumbuhan ekonomi terus anjlok di batasan paling bawah dengan tingkat inflasi yang cenderung makin tinggi.
“Malah bisa worst scenario, yaitu crash landing. Itu kombinasi dari stagflasi. (Pertumbuhan) Ekonominya stagnan atau bahkan lebih rendah di bawah 0 persen dengan inflasi yang tinggi. Jadi kemungkinannya (tahun depan) adalah antara soft landing dengan crash landing,” tegas dia.
Baca juga:
Mahendra sendiri menyatakan bahwa pihaknya terus mendorong dunia usaha, yang memiliki profitabilitas kuat pada 2022, agar mempersiapkan kemungkinan terburuk pada tahun bisnis 2023.
“Kepada mereka yang memang punya keuntungan tinggi, sebagian (laba itu) harus digunakan untuk memperkuat pencadangan. Jangan terbawa euphoria dengan bagi-bagi dividen. Nanti pada saat membutuhkan pendanaan dalam kondisi yang lebih berat malah tidak ada. Ini perlu dijaga,” jelasnya.
Seperti yang diketahui, sejumlah negara dunia tengah ‘berperang’ menghadapi lonjakan inflasi akibat naiknya harga komoditas yang disebabkan oleh gangguan rantai pasok. Salah satu cara yang paling ampuh untuk mengendalikan inflasi adalah melalui kenaikan suku bunga acuan di negara masing-masing.
Walau begitu, interest rate yang naik diyakini bisa menghambat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi karena semakin besarnya biaya dana (cost of fund). Alhasil, sektor dunia usaha menjadi enggan menarik dana perbankan yang berakibat pada terhambatnya ekspansi bisnis dan melemahnya roda perekonomian.