Belajar dari Kasus Pelecehan Seksual di Universitas Gunadarma Depok: Kebodohan Dieksploitasi, Seolah untuk Melawan Kejahatan
JAKARTA - Sejumlah mahasiswa Universitas Gunadarma Depok menganiaya dua pria yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual di kampus. Keduanya diikat di pohon dan disirami air. Satu di antaranya bahkan dicekoki minuman dari botol air mineral yang kabarnya berisi air seni dan ditelanjangi.
Aksi main hakim sendiri itu terekam dalam foto dan video yang viral di media sosial pada 13 Desember 2022.
Kejadian bermula dari aduan seorang mahasiswi yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekannya, yakni satu dari dua pria tersebut. Akun Instagram @anakgundardotco, akun media kreatif dan informasi yang dikelola oleh mahasiswa Gunadarma kemudian memposting pengakuan mahasiswi tersebut pada 11 Desember 2022.
Pelecehan seksual terjadi di Kampus G Universitas Gunadarma pada 2 Desember 2022. Sekitar pukul 12.01 WIB, menurut pengakuan korban di @anakgundardotco, pelaku menghampirinya di depan koridor kelas di G112.
“Kita ngobrol di depan pintu masuk ke gedung 1 yang deket ke arah parkiran yang banyak genteng-genteng disusun itu. Kita ngobrol seperti biasa bahas-bahas kuliah, pertemanan di lingkungan kampus dll,” katanya.
Kemudian, terduga pelaku masuk ke arah toilet di gedung 1, lalu memanggil korban.
“Saat itu aku mikir mungkin dia mau tanya dimana toilet cewe atau cowo karena enggak ada tandanya. Tapi tiba-tiba, dia dorong aku ke tembok ujung banget yang sepi trus nyosor gitu bibirnya,” ucap terduga korban.
“Otomatis aku tepis (dorong dia ke belakan) sambil bilang, ‘apaan si goblok enggak jelas banget tolol’, tapi dia bilang ‘sekali-kali aja’ sambil tangannya meragakan angka 1 gitu,” lanjutnya.uga pe
Korban tetap menolak dan langsung kembali ke tempat semula. Pelaku dan korban sempat melanjutkan perberbincangan. “Dia cerita hal-hal negatif yang berhubungan dengan seks gitu. Aneh banget ini orang freak, aku udah males nanggepin sampai akhirnya jam 1 aku cabut ke kelas.”
Korban berharap dengan pengakuannya tersebut, pelaku mendapat sanksi sosial. Sebab, menurutnya, beberapa teman di kelasnya juga agak risih dengan kelakuan pelaku yang diketahui dari postingan @anakgundardotco, bernama Tegar Putra Pradanta, mahasiswa Universitas Gunadarma Angkatan 2022.
Namun, nyatanya, sejumlah mahasiswa malah main hakim sendiri.
“Kalo kena sanksi sosial di sosmed, kena cancel dihujat dll ya sudah lah ya. Tapi kalo diperlakuin kaya tadi sih kalian normalisasi kekerasan untuk dapat keadilan. Yang mana jatohnya menurut gue banyak orang yang munafik. Pengen kekerasan ilang tapi buat nyelesain kekerasan pake cara kekerasan, udah kaya lingkaran setan, apa jadinya. Never end,” cuit Kevin Nguyen pada 12 Desember
Padahal, menurut dia, aturan mainnya sudah jelas tertuang di Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Juga di Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Tahun 2022.
“Yang ada pelakunya jadi korban trus lapor balik, kena dah tuh uno reverse card, mana buktinya banyak,” Kevin melanjutkan cuitannya.
Ancaman Pidana
UU TPKS telah mengatur setiap orang yang melakukan pelecehan seksual nonfisik dan fisik terancam pidana.
Seperti yang tercantum dalam Pasal 5 UU TPKS, “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara non fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual non fisik dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.”
Lalu, Pasal 6 poin (a) UU TPKS untuk pelecehan seksual secara fisik, “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara non fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana dendan paling banyak Rp50 juta.”
Sebagai pembuktiannya, sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) UU TPKS. “Cukup dengan keterangan korban bahwa ia mengalami kekerasan seksual, ditambah dengan satu alat bukti sah lainnya, dan keyakinan hakim, cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah,” kata R. Valentina Sagala dalam buku ‘100 Tanya Jawab Seputar Kekerasan Seksual’.
Alat bukti yang sah bila merujuk Pasal 24 ayat (1) TPKS, terdiri atas:
- Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
- Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana kekerasan seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
Namun, bila terjadi main hakim sendiri, pelaku kekerasan seksual juga bisa melaporkan balik kepada pihak yang berwenang, antara lain atas dasar ketentuan-ketentuan berikut seperti dilansir dari Hukumonline.com:
- Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan
Dalam penjelasan Pasal 351 KUHP oleh R. Sugandhi, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka.
Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang mengakibatkan luka atau cidera.
- Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan
Dalam penjelasan Pasal 170 KUHP oleh R. Sugandhi, kekerasan terhadap orang maupun barang yang dilakukan secara bersama-sama, yang dilakukan di muka umum seperti perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap orang atau hewan, melemparkan batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang barang sehingga berserakan.
Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di depan umum.
- Pasal 406 KUHP tentang Perusakan
Dalam penjelasan Pasal 406 KUHP oleh R. Sugandhi, perusakan yang dimaksud mengakibatkan barang tersebut rusak, hancur sehingga tidak dapat dipakai lagi atau hilang dengan melawan hukum.
“Pelaku main hakim sendiri tidak bertindak sebagai korban atau penyelamat korban, melainkan sebagai pelaku kejahatan atas penganiayaan, kekerasan, atau perusakan. Ini tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Tidak mencerminkan keadilan dan tidak beradab,” tulis Hukumonline.com.
Baca juga:
- Polemik UU KUHP di Media Sosial, Monitoring Netray Didominasi Sentimen Negatif
- Polemik Alih Fungsi SDN Pondok Cina 1 Menjadi Masjid: Slogan Depok Kota Ramah Anak Hanya Omong Kosong
- Ketika Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Kembali Diembuskan: Jangan Ajari Rakyat Melanggar Konstitusi
- Apakah dengan Adanya KUHP Baru, UU Pokok Pers Tetap Menjadi Acuan?
Saat ini, terduga korban dan terduga pelaku sudah menyelesaikan perkara pelecehan seksual secara kekeluargaan. Korban, menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan, enggan melaporkan apa yang dialaminya kepada polisi. Sebab, menurut pengakuannya, sudah diselesaikan bersama senior-seniornya di kampus.
“Kasusnya sudah diselesaikan, damai. Jadi korban tidak melapor," kata Zulpan kepada wartawan pada 13 Desember 2022.
“Yang paling kasian dari kasus gundar adalah sekarang netizen jadi ga terlalu fokus pada pemulihan korban, lebih fokus ke KEBODOHAN oknum mahasiswa yang main hakim sendiri dan ciptain korban baru yaitu korban penganiayaan. Si inisial T jadi terduga pelaku dan juga jadi korban di sini,” kata Kevin.