Muslim Sri Lanka Kritik Aturan Wajib Kremasi untuk Korban COVID-19

JAKARTA - Umat Islam Sri Lanka mengkritik aturan pemerintah soal orang yang meninggal akibat COVID-19 wajib dikremasi. Mereka bilang kebijakan pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa tersebut aturan yang diskriminatif. Mereka juga berkeras penguburan harus dilakukan di negara mayoritas Buddha tersebut.

Mengutip France24, Kamis 17 Desember, kemarahan tersebut meningkat setelah sedikitnya 15 orang yang meninggal akibat COVID-19 jasadnya dikremasi. Sedangkan kelima belas orang tersebut merupakan Muslim dan dipaksa untuk melakukan ritual itu.

Otoritas kesehatan di Sri Lanka yang mayoritas beragama Buddha berkeras, semua korban harus dikremasi. Perintah yang dikeluarkan pada April itu dikeluarkan di tengah kekhawatiran para biksu Buddha terkemuka soal mayat yang dikubur dapat mencemari air tanah dan menyebarkan virus.

Selama akhir pekan, masyarakat mengikat ribuan pita putih ke gerbang pemakaman yang memiliki krematorium, namun pita putih tersebut disingkirkan pihak berwenang. Hal ini menambah kekecewaan banyak masyarakat. 

"Para hantu di Kanatte (area pemakaman) semalaman telah menyingkirkan saputangan putih yang diikat untuk mengenang bayi yang dikremasi secara paksa melawan keinginan orang tua," kata mantan Menteri Luar Negeri Mangala Samaraweera di Twitter.

Seorang aktivis media sosial yang mengunggah foto pita tersebut menyebutnya sebagai "tindakan penindasan negara yang mencolok." Sri Lanka telah mengalami lonjakan kasus sejak Oktober, dengan jumlah kasus COVID-19 meningkat hampir 10 kali lipat, sehingga saat ini totalnya mencapai lebih dari 32.790 kasus dan 152 di antaranya meninggal dunia.

Amnesty International juga mengecam aturan kremasi awal bulan ini, dengan mengatakan Muslim Sri Lanka menghadapi ketakutan tidak bisa menguburkan orang yang dicintai dan kehilangan martabatnya di saat-saat terakhir. LSM ini juga mencatat bahwa "untuk menambah penghinaan terhadap luka ini, keluarga dipaksa menanggung biaya kremasi." Namun, Rambukwella, juru bicara pemerintah Sri Lanka, membantah tuduhan diskriminasi.

Mayoritas pasien Muslim

Menurut Dewan Muslim Sri Lanka, mayoritas korban virus corona di negara itu menganut Islam meskipun mereka hanya 10 persen dari 21 juta populasi. Juru bicara Dewan Muslim Hilmy Ahamed mengatakan Muslim yang terserang COVID-19 takut mencari bantuan medis karena tidak ingin dikremasi jika meninggal.

Organisasi Kerja Sama Islam bulan lalu mendesak Pemerintah Sri Lanka untuk mengizinkan umat Islam menguburkan anggota keluarga mereka "sesuai dengan keyakinan dan kewajiban agama mereka." Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengatakan penguburan harus diizinkan jika dilakukan dengan tindakan pencegahan.

Sejak berakhirnya perang berdarah selama puluhan tahun antara separatis Tamil dan militer pada 2009, kelompok Muslim di Drilanka menghadapi permusuhan yang meningkat dari nasionalis Buddha Sinhala.

Kelompok garis keras menuduh Muslim memiliki tingkat kelahiran yang tinggi dan memaksa orang untuk masuk Islam untuk mengurangi mayoritas Buddha Sinhala di Sri Lanka, yang merupakan 70 persen dari populasi negara itu. Dalam beberapa tahun terakhir, serangan yang diklaim dipicu oleh para biksu Buddha, telah menargetkan rumah dan bisnis Muslim, serta tempat ibadah Muslim. Ketegangan semakin meningkat setelah terjadi serangan bunuh diri mematikan di gereja dan hotel pada April 2019 yang diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS.