Penjelasan Komisi III Tentang Pasal 256 KUHP Tentang Unjuk Rasa Bisa Dibui 6 Tahun atau Denda Rp10 Juta

JAKARTA - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah resmi disahkan menjadi UU, Selasa 6 Desember lalu. Namun masih banyak penolakan terhadap pasal-pasal.

Seperti Pasal 256 KUHP baru, yang mengatur tentang melakukan pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi bisa terancam penjara 6 tahun atau denda Rp10 juta jika tidak memiliki izin.

Ancaman pidana itu berbunyi:

"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10.000.000)."

Pasal ini menjadi perdebatan lantaran dianggap membungkam aspirasi dan kritik masyarakat. Di sisi lain unjuk rasa bisa dianggap menggangu ketertiban umum.

Terkait perdebatan pasal ini, anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, menjelaskan pasal 256 dalam draf RKUHP baru bukan merupakan delik terkait unjuk rasa, melainkan lebih merupakan delik terganggunya ketertiban umum.

“Pasal 256 bukan ditujukan semata unjuk rasa saja, tetapi justru pasal ini deliknya adalah delik terganggunya ketertiban umum, keonaran atau huru hara,” ujar Taufik, dikutip Kamis, 8 Desember.

Menurutnya, tujuan pasal tersebut agar setiap unjuk rasa yang diselenggarakan bisa berkoordinasi lebih dulu dengan pihak aparat sehingga tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, maupun kepentingan pihak lain.

“Yang paling penting, pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini yakni semangat dalam RKUHP bukan semangat punitive, karena rencana KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative,” katanya.

Politikus NasDem itu mengatakan, pihak pemerintah maupun DPR perlu mensosialisasikan pasal tersebut maupun pasal dalam RKUHP lainnya kepada aparat penegak hukum agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya dan lebih selektif dalam mengimplementasikannya.

“Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya,” kata Taufik.