Bupati Bangkalan Diduga KPK Bayar Survei Pakai Uang Suap

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron menerima suap hingga Rp5,3 miliar dari lelang jabatan hingga pengadaan proyek. Uang tersebut diduga digunakan untuk keperluan pribadinya, termasuk membayar survei.

"Penggunaan uang-uang yang diterima RALAI tersebut diperuntukkan bagi keperluan pribadi, di antaranya untuk survei elektabilitas," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Desember dini hari.

Firli tak merinci jumlah uang yang digunakan untuk membayar lembaga survei itu. Dia hanya menyebut seluruh penerimaan dilakukan Abdul Latif lewat orang kepercayaannya.

Dalam jual beli jabatan, Abdul Latif disebut Firli mematok tarif dengan besaran Rp50 juta hingga Rp150 juta. Angka tersebut tergantung dari jabatan yang diincar para aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Bangkalan.

Adapun para pihak yang memberikan uang tersebut adalah Kadis Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Hosin Jamili, Kadis PUPR Wildan Yulianto, Kadis Perindustrian dan Tenaga Kerja Salman Hidayat, Kadis Ketahanan Pangan Achmad Mustaqim dan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Agus Eka Leandy.

Selain itu, Abdul Latif diduga menerima sejumlah uang dari pengaturan proyek. Dia menentukan besaran fee yang harus diberikan mencapai 10 persen dari tiap nilai anggaran.

Berikutnya, kepala daerah itu juga diduga menerima gratifikasi. "Hal ini akan ditelusuri dan dikembangkan lebih lanjut oleh tim penyidik," tegas Firli.

Akibat perbuatannya, Abdul sebagai penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sementara Agus, Wildan, Achmad, Hosin, dan Salman sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.