Piala Dunia 2022 Qatar Memberikan Keuntungan Besar untuk FIFA, Lebih Banyak Rp10,9 Triliun dari Edisi Sebelumnya

JAKARTA - Penyelenggaraan Piala Dunia 2022 Qatar boleh saja dikritik banyak pihak. Namun, bagi FIFA, perhelatan akbar di negeri Timur Tengah ini sungguh luar biasa.

Pasalnya, perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar memberikan FIFA tambahan pemasukan 700 juta dolar AS (sekitar Rp10,9 triliun) lebih banyak dibanding empat tahun lalu.

Hal ini diakui sendiri oleh Presiden FIFA, Gianni Infantino, Sabtu, 19 November, beberapa jam jelang pembukaan. Infantino mengatakan pendapatan dari hak siar media naik sekitar 200 juta dolar AS dibandingkan dengan Piala Dunia 2018 di Rusia.

Sementara dari sponsor ada tambahan 200 juta dolar AS dan dari tiket serta hospitality akan menghasilkan 200 hingga 300 juta dolar AS lebih banyak.

"Secara keseluruhan, Piala Dunia 2022 ini akan memberi penghasilan bagi FIFA sekitar 600-700 juta dolar AS lebih banyak daripada Piala Dunia terakhir sebelumnya," kata Infantino, seperti dilansir Antara via AFP, Sabtu, 19 November.

Infantino mengatakan, akan mengungkapkan pendapatan global FIFA selama empat tahun terakhir kepada asosiasi-asosiasi sepak bola nasional pada Minggu, 20 November.

Pria berdarah Italia itu bersikeras turnamen di Qatar telah mematahkan segala keraguan. Termasuk adanya kabar boikot dari sejumlah kalangan.

"Saya sebelumnya diberitahu bahwa sponsor akan meninggalkan FIFA, orang-orang akan mematikan TV mereka, mereka tidak akan menonton Piala Dunia karena skandal itu, tidak ada yang akan datang ke Qatar karena musim dingin," tutur sang presiden.

Memuji "kesuksesan komersial", Infantino mengatakan, "Jika begitu banyak orang di seluruh dunia telah menginvestasikan begitu banyak uang di Piala Dunia di Qatar, mereka berinvestasi karena mereka percaya pada FIFA dan percaua Qatar."

"Entah orang-orang itu bodoh, atau seseorang, mereka yang mengatakan tidak ada yang akan menontonnya, bahwa tidak ada yang peduli dengan Piala Dunia ini, mungkin sedikit salah karena beberapa jajak pendapat di beberapa negara juga salah," pungkasnya.