Belanja Ternyata Bisa Mengatasi Kesepian, Tapi… Begini Penjelasan Penelitian

YOGYAKARTA – Banyak cara untuk terhubung secara sosial yang berguna menepis rasa sepi. Seperti dengan berkomunitas atau menjalin kolaborasi dengan kelompok tertentu. Tetapi, salah satu cara banyak orang untuk mengatasi kesepian adalah dengan berbelanja. Yang menurut penelitian, meski bisa menjadi perilaku koping dalam mengatasi rasa sepi, ini bisa mengubah perspektif seseorang tentang kebahagiaan dan kesejahteraan.

Banyak orang mengalami kesepian, termasuk mereka yang ingin punya banyak teman tetapi gagal menjalin persahabatan. Faktor pendorongnya bersifat relatif, seperti rasa kurang percaya diri, taka da waktu, atau takut ditolak.

Penelitian dilakukan oleh Fumagalli dan rekan yang dikutip Arash Emamzadeh dalam Psychology Today, menjabarkan bahwa keepian mengacu pada pengalaman subjektif dari kekurangan dalam hubungan sosial seseorang, perasaan bahwa hubungan ini kurang berkualitas atau tidak memuaskan dalam hal-hal penting. Kesepian berbeda dengan isolasi sosial objektif. Orang kesepian bisa merasakannya di tengah keramaian bahkan ketika mereka memiliki teman. Pada kondisi lain, orang terisolasi secara sosial karena merasa puas dengan koneksi yang terbatas atau menghabiskan waktu yang lama dalam kesendirian.

Ilustrasi berbelanja untuk mengatasi kesepian berefek negatif pada aspek sosial (Unsplash/Freetocks)

Penelitian menunjukkan kesepian terkait dengan berbagai perilaku sehat, termasuk strategi pengaturan emosi yang maladaptif atau kesulitan mengendalikan diri, dan merupakan prediktor kuat dari banyak hasil negatif misalnya kecemasan, depresi, dan peningkatan rasa sakit.

Berbelanja merupakan kompensasi yang mengacu pada penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan psikologis untuk dimiliki. Pengalamaan dalam berbelanja, dapat pula bersifat netral ataupun positif. Namun, berbelanja sebagai kompensasi psikologis berbahaya karena mensubstitusi atau menggantikan kondisi sosial dengan hal yang bersifat material. Penelitian juga menunjukkan bahwa meterialisme memiliki dampak negatif pada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Dengan begitu, motif sosial untuk terhubung dengan orang sekitarnya akan menurun. Bahkan menghindari bertemu orang lain karena terpenuhi ‘kebahagiaan’ sementara yang material. Perasaan kesepian yang dirilis dengan tanpa membangun hubungan sosial, justru mengarah pada kondisi negatif, seperti merasa tidak aman, selalu waspada, hanya fokus pada diri sendiri, atau egois.

Artinya, strategi koping dengan konsumsi menjadi bumerang. Yang menyebabkan kesepian membesar dan semakin sulit membangun interaksi sosial. Jadi, mencoba tetap terhubung secara sosial dengan perilaku konsumtif, mungkin bisa jadi solusi. Misalnya, berbelanja barang bekas berbasis komunitas, atau berbelanja dalam lingkaran sosial dengan hobi yang sama. Dengan begitu, seseorang tetap terhubung secara sosial dan perspektif konsumtif tak melulu pada hal material saja.