Koran Sore Sinar Harapan Diberedel Presiden Soeharto dalam Sejarah Hari Ini, 29 Oktober 1986
JAKARTA – Sejarah hari ini, 36 tahun yang lalu, 29 Oktober 1986, Pemerintah Orde Baru (Orba) pimpinan Presiden Soeharto resmi memberedel koran sore Sinar Harapan. Pemberedelan itu dilakukan karena berita-berita dan artikel di Sinar Harapan menciptakan suasana tak sehat. Bahasa mudahnya: Sinar Harapan acap kali melempar kritik terhadap pemerintah.
Sebelumnya, Soeharto dan Orbanya telah melanggengkan pemerintahan yang represif. The Smiling General ingin citra yang dilanggengkan hanya memuat heroismenya. Media massa pun dikontrol. Barang siapa yang memuat berita buruk Soeharto atau pemerintahannya niscaya akan diberedel.
Perihal mengemas citra, Soeharto jagonya. Ia memiliki kuasa mengendalikan segalanya. Dari penulisan ulang sejarah hingga kendali atas media massa. Empunya kuasa ingin sosoknya dikenang sebagai pemimpin terbaik Indonesia. Peran dominan atas sosok Soeharto muncul diragam medium.
Semua itu supaya rakyat Indonesia dapat terinspirasi dengan laku hidup Soeharto. Rakyat Indonesia tak perlu takut untuk bermimpi. Mereka boleh bermimpi menjadi siapa saja, termasuk presiden. Apalagi Soeharto sendiri dielu-elukan sebagai figur anak petani desa yang kemudian jadi presiden.
Citra baik itu membuat Orba mencoba mengontrol penuh seluruh media massa. Alias, semua media harus tunduk kepada Soeharto. Entah itu dalam program radio, televisi, hingga surat kabar. Ia tak mau ada media yang terlalu memojokkan dirinya, apalagi Orba.
Barang siapa yang melanggar keinginan Soeharto, hukumannya sudah dapat ditebak: pemberedelan. Tiada tawar menawar untuk itu. Namun, hukuman bakal dicabut jika pemilik media bersedia dibina kembali oleh pemerintah dan meminta maaf.
“Kebijakan Golkar mengenai media massa bisa dikatakan adalah derivasi dari kebijakan media Soeharto, yaitu pengaturan dan kontrol. Dalam konteks pengaturan dan kontrol atas media ini, peran Golkar dan tentunya Soeharto makin dikukuhkan dengan adanya fakta bahwa Soeharto selalu menempatkan orang kepercayaannya di jabatan Menteri Penerangan yang membawahi Departemen Penerangan, sebuah lembaga yang menjadi aparatus kontrol negara terhadap media.”
“Peran Golkar sendiri dalam soal Deppen ini juga berlangsung secara bertahap. Pada awalnya, Menteri Penerangan dijabat oleh ‘orang dekat’ Soeharto seperti Ali Moertopo (1978-1983) yang pernah menjadi Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto. Setelah Moertopo, jabatan itu diserahkan ke Harmoko yang mantan wartawan dan figur yang dinilai loyal pada Soeharto,” ungkap Rully Chairul Azwar dalam buku Politik komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009).
Tiada media massa yang luput dari pantauan Orba. Sinar Harapan, misalnya. Surat kabar itu mencoba memuat sebuah opini berisi kritik tentang devaluasi yang dianggap spekulatif dan menyengsarakan rakyat. Akibatnya, Orba tak suka opini tersebut.
Soeharto pun menginstruksikan Menteri Penerangan, Harmoko untuk mengambil tindakan tegas. Pemberedelan dilakukan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Sinar Harapan akhirnya dicabut pada 28 Oktober 1986.
“Empat hari setelah pemuatan berita devaluasi rupiah, Sinar Harapan melengkapi beritanya dengan opini yang ditulis oleh Daoed Joesoef. Dia adalah eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Orde Baru yang pernah membuat kebijakan memperpanjang masa belajar menjadi setahun setengah pada 1978. Judul opini Daoed: Tanggapan Kritis terhadap Devaluasi.”
“Isinya mengkritisi kebijakan pemerintah. Daoed antara lain menyebut keputusan devaluasi rupiah sebagai keputusan ngawur dan dia menyarankan agar segera dibatalkan. Dua berita dan satu opini Sinar Harapan itu niscaya sungguhsungguh menyerempet bahaya, dan benar, Sinar Harapan harus menelan pendirian redaksinya: diberedel. Harmoko mengumumkan, berita-berita dan artikel di Sinar Harapan telah menciptakan suasana yang tidak sehat, membuat kegaduhan dan meresahkan masyarakat,” terang Rusdi Mathari dalam buku Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (2018).
Baca juga: