Beberapa hari menjelang usianya yg ke-65 tahun, saya mewawancarai Dr Tahi Bonar Simatupang (TB Simatupang). Dia akrab dipanggil Pak Sim.
Hasil wawancara dimuat harian sore Sinar Harapan, tempat saya kerja sebagai reporter muda, pas di hari lahirnya 28 Januari 1985.
Wawancara berlangsung di kediaman Pak Sim, di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat. Wawancara panjang lebar.
Saya mengorek karier militernya yang gemilang, pandangannya tentang ABRI dan tentu saja bicara nasib bangsa di tengah-tengah pertarungan agama-agama yang juga sudah mengganas kala itu.
Salah satu obsesi terdalam Pak Sim adalah membuat Angkatan 45, angkatannya, dapat merampungkan tugas sejarahnya menjadi generasi pembebas yang berhasil, dan bukan generasi pembebas yang gagal.
Cita-cita itu saya rasa terwujud. Terbukti militer tidak pernah melakukan kudeta ke pemerintah hingga peralihan di zaman Reformasi. Kata kunci keberhasilan, sebagaimana terus didengung-dengungkan Pak Sim, adalah pembentukan doktrin, kader dan kelembagaan di tubuh militer.
Pak Sim dalam usia yang masih muda, 25 tahun, secara de facto telah menjalankan tugas-tugas sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) yang disandang Jenderal Sudirman yang lama sakit-sakitan. Lalu beberapa tahun kemudian, pada usia 29 tahun, Pak Sim menjadi KSAP.
Saya membayangkan keluarbiasaan jiwa putra Sidikalang, Tapanuli ini. Dia telah bergerilya di hutan-hutan lebat di Pulau Jawa mempertahankan negaranya Indonesia dan keutuhan militer yang terancam pecah-belah. Itu dilakukan saat usia 20-an. Dialah salah satu pemikir strategi militer dalam perang dan revolusi kala itu, sebab jenderalnya Pak Sudirman hidup di tandu.
Dalam mengisi hari-harinya setelah pensiun --juga pada usia muda-- Pak Sim mendalami bidang keagamaan.
Dalam peradaban modern yang sangat menakjubkan saat ini, kata Pak Sim dalam wawancara, kehidupan agama-agama harus mampu bergandengan dan saling berbicara. Caranya, masing-masing agama meninggalkan cara berpikir yang pra-modern serta tidak dalam kedudukan monopoli atau berkuasa.
Apa persoalan agama-agama, menurut Pak Sim?
Agama lahir dalam situasi pra-modern, oleh sebab itu sering tidak mampu membicarakan sesuatu yang relevan dalam dunia modern. Bukan hanya isinya, pola bahasanya juga tidak relevan dalam dunia modern, katanya.
Agama-agama jangan datang membenahi krisis melalui kekuasaan, tetapi melalui perbuatan-perbutan yang benar, ujarnya.
Sebab, menurutnya, bila agama-agama berbicara melalui kekuasaan, dunia modern lebih punya kuasa. Akibatnya, agama akan menjadi tawanan dari kekuasaan itu.
Hari ini, genap kelahirannya satu abad. Anak Tuhan, yang menjadi pemikir besar bangsa khususnya tentang Pancasila sebagai ideologi, kehidupan militer dan keagamaan itu hidup dalam kesederhanaan, sangat, sangat, sangat sederhana.
HUT Pak Sim ke-65, tahun 1985 adalah masa-masa Orde Baru bereforia, bersukacita hebat sebab merasa kuat dan tangguh. Kehidupan politik pun kian represif. Pernah Pak Sim dilarang berceramah oleh pemerintah.
Perayaan HUT Pak Sim pun hanya menggelar diskusi kecil-kecil di kediamannya.
Saya ingat cuma melibatkan 10-an orang "kaum militan". Seperti Sabam Sirait (politisi), Sabam Siagian, Jacob Utama, Rosihan Anwar, Marcel Beding (keempatnya wartawan), Syaidiman (jenderal pemikir militer), Maroelak Sihombing (aktivis) dan beberapa anak muda dari Yayasan Komunikasi. Sebagian besar sudah meninggal dunia.
Pak Sim adalah penulis rutin setiap pagi dan bertahun-tahun hingga akhir hayatnya Tajuk Rencana koran Sinar Harapan dan koran penggantinya Suara Pembaruan.
Dalam wawancara 35 tahun lalu itu, kami duduk di sofa tua pada rumah tua yang bertetangga dengan rumah Wapres Muhammad Hatta. Rumah dinas berlangit-langit tinggi, tanpa AC. Bahkan kenalpot kendaraan di jalan Diponegoro yang bising sering mengganggu wawancara. Di kala itu, di lingkungan militer dan keluarga-keluarganya sudah sangat banyak yang hidup mewah dan berkelimpahan.
Thoman Hutasoit
Wartawan
Pernah menjadi Kepala Editor Pers dan Media Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) di Istana Kepresidenan