Akar Sejarah Korupsi di Indonesia dan Betapa Kunonya Mereka yang Hari Ini Masih Korup
JAKARTA - Korupsi adalah penyakit kambuhan bangsa Indonesia. Akar sejarah korupsi lewat pungutan liar (pungli) bermula sejak kerajaan Nusantara eksis. Selanjutnya, pejabat kongsi dagang Belanda, VOC mengikuti.
Seperti yang diungkap sastrawan Goenawan Mohamad, "Korupsi itu menghasilkan sesuatu yang berlebihan —uang, kekuasaan, nama baik, juga kekejaman— yang secara berlebihan pula merugikan orang lain yang sedang ada dalam status dan posisi lain. Bagi Indonesia, korupsi tak pernah jadi masalah perseorangan. Melainkan korupsi jadi masalah bersama-sama.
Berdasarkan sejarah, korupsi adalah bagian dari tindakan yang telah ada hampir setua peradaban itu sendiri. Di Indonesia, pungli mulai tercatat sejak abad 13. Asal mulanya berasal dari sistem pembiayaan tradisional Kerajaan Majapahit, Mataram hingga kerajaan lainnya di Nusantara.
Lewat catatan itulah jejak mereka yang mengusai jabatan tertentu dalam memperoleh keuntungan besar mulai terlihat. Sejarawan Ong Hok Ham pun turut menjelaskan hal itu. Ia mengungkap pungli langgeng karena pejabat dalam kerajaan tradisional ini tak digaji oleh raja.
Alhasil, mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja hanya memberi pejabat tanah dan sejumlah petani, atau hak-hak untuk memungut bea cukai. Sesudahnya, pejabat itu meminta denda dan upeti ke rakyat. Dari sumber keungan inilah urusan jabatan dibiayai.
Tak cuma satu dua jabatan saja yang mencari gajinya sendiri. Ong Hok Ham mencatat mulai dari jabatan menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan, jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lain sebagainya telah berdiri sendiri dalam keuangan.
Bahkan, raja sendiri sebenarnya masuk dalam sistem ini. Sebab, seorang raja menerima sebagian dari upeti rakyat yang diberikan oleh pejabat. Akan tetapi, jumlah yang diberikan relatif kecil. Masih jauh lebih besar upeti yang masuk kantong pribadi pejabat.
“Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu rajanya secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak dapat meremehkan para abdi dalem kareton tertinggi, juga para menteri, bahkan pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi penghasilan mereka – dan mereka semua berhutang padanya,” ujar Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Kala Hindia-Belanda
Kebiasaan pungli semakin langgeng kala sistem tanam paksa (cultuur stelsel) diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch (1830–1833) pada 1830. Aturan itu mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, dan teh. Kebijakan itu pun menjadi ladang subur berlangsungnya aksi pungli paling hebat.
“Dapat dikatakan bahwa masa Cultuur Stelsel merupakan masa ‘aksi pungli’ yang paling hebat di satu pihak mengalirkan berjuta-juta gulden ke kas Negara Belanda serta menggemukkan para bupati. Sedangkan rakyat jelata menjadi semakin kurus kering dan melarat. Anehnya rakyat pada waktu itu tetap diam saja, tidak mau memberitahukan kesengsaraan mereka untuk minta diringankan. Semuanya dijalankan saja dengan penuh ketaatan,” ungkap Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (2012).
Selebihnya, para bupati sendiri kelihatannya hanya menutup mata terhadap penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Mereka hanya berlomba-lomba memeras rakyat untuk dapat dipuji sebagai bupati yang baik dan diberi bintang jasa oleh penjajah, sembari tetap melanggeng pungli.
Seperti yang pernah diungkap oleh Multatuli atau Eduard Douwer Dekker dalam novel legendarisnya Max Havelaar (1860). Lewat novel itu, Multatuli kemudian menelanjangi kejamnya pejabat bumiputra dan kolonialisme Belanda.
Runtuhnya VOC
Pungli yang dilanggengkan kongsi dagang VOC pun tak kalah hebat dari pejabat bumiputra yang korup. VOC zaman itu hanya memberikan gaji nominal, sekedar uang pengikat.
Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya hanya digaji 80 gulden sebulan. Oleh sebab itu, kebanyakan di antaranya melakukan praktik curang. Mereka harus berdagang demi kepentingan majikannya, justru berusaha berdagang demi keuntungan sendiri.
Menurut penuturan seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp (1761-1822), ia melihat sendiri pungutan yang diambil oleh pejabat VOC banyak berasal dari denda barang-barang yang overweight (melampaui batas) milik orang-orang China dan Jawa, keuntungan penjualan opium, hadiah-hadiah dan sebagainya.
“Dirk menyebutkan jenis-jenis hadiah yang didapat dari para pejabat pribumi, bupati, misalnya hadiah pada penunjukkan pejabat baru, hadiah setiap tahun baru, hadiah buat istri pejabat yang melahirkan, pungutan setiap kali mau menghadap Gubernur di Semarang, setiap menghadap Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda, setiap kali mendatangi penobatan bupati pribumi yang baru terpilih dan sebagainya,” cerita Dirk dikutip Sri Margana dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).
Baca juga:
Selain terjadi manipulasi harga, pejabat VOC juga melakukan penjualan kedudukan dan penjualan monopoli seperti candu, garam, serta hasil alam lainnya. Dampaknya, para pejabat VOC semakin kaya raya. Sedangkan, VOC sendiri semakin miskin.
Gambaran itu terlihat dari orang Belanda di Nusantara yang sering kali hidup di atas kemewahan. Mereka suka pamer, berpesta pora, dan feodal. Sikap itu tumbuh lewat sikap para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta karena melimpahnya hasil pungli.
Lebih lengkapnya terkait foya-foya pejabat VOC, kami pernah mengulasnya dalam artikel “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda”. Pada akhirnya, sejarah mencatat keruntuhan kongsi dagang Belanda VOC, salah satunya gara-gara keseringan korupsi. Pejabat VOC yang seharusnya berdagang demi kepentingan majikan, justru bekerja hanya demi keuntungan sendiri.
“Tepat setelah dibubarkan, sejak 1 Januari 1800 seluruh kekuasaan, keputusan dan wewenang VOC dilimpahkan kepada otoritas kerajaan Belanda, termasuk hutang dan saldo 134,7 juta gulden. Sejak saat itu, kawasan Nusantara bernama Hindia Belanda, yang diakui oleh dunia baik secara de jure maupun de facto,” tutup Miftakhuddin dalam buku Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni (2019).