Pimpinan MPR: Pilkada 2024 Tetap Pemilihan Langsung, Tidak Ada Perubahan
JAKARTA - Pimpinan MPR memastikan pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 tetap digelar melalui mekanisme pemilihan langsung. MPR menegaskan tidak ada perubahan mekanisme pada Pilkada 2024 mendatang.
"Untuk tahun 2024 pasti tetap pemilihan langsung. Tetap, tidak ada perubahan," ujar Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, kepada wartawan di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 12 Oktober.
"Itu enggak mungkin ada perubahan. Tahun 2024, pilkada langsung itu menjadi sesuatu yang tidak mungkin diutak-atik lagi," lanjutnya.
Yandri lantas menjelaskan soal wacana pilkada lewat DPRD yang perlu dikaji ulang. Menurutnya, banyak terjadi politik uang dalam pilkada langsung karena mengeluarkan biaya yang sangat tinggi.
"Dulu kita anggap pilkada langsung itu kan biayanya rendah, ternyata kan sangat mahal kan sekarang. Terus tidak ada money politics, ternyata kan money politics semua sekarang," jelasnya.
Kemudian, sambung Yandri, MPR dan Wantimpres sempat mendiskusikan soal Pilkada langsung. Dia menilai harus ada kajian lebih mendalam terkait pelaksanaan pilkada langsung maupun pilkada lewat DPRD.
"Wantimpres itu mendiskusikan kehidupan berbangsa dan bernegara ya masalah perang Ukraina-Rusia, masalah PPHN, masalah kemudian pilkada kemudian masalah yang lain, banyak, salah satunya pilkada langsung. Mereka juga belum kesimpulan. Ini perlu dikaji," ungkap Yandri.
"Jadi ruang diskusi itu menurut saya tidak boleh ditutup karena sudah hampir 20 tahun pilkada langsung tentu sudah banyak kita bisa lihat fakta yang terjadi antara mudharat dan manfaatnya. Dari situ bisa kita tarik diskusi yang sifatnya saling memberi solusi, pihak-pihak yang tetap bertahan pilkada langsung apa solusi untuk mengatasi persoalan tadi," kata Yandri.
Tapi Yandri memastikan untuk Pilkada 2024 tetap digelar dengan mekanisme pemilihan langsung. Meskipun wacana pemilihan lewat DPRD juga perlu dikaji.
"Kemudian yang mau ke DPRD kenapa alasannya mau kembali ke DPRD. Jadi enggak apa apa ruang itu kita buka, tapi untuk tahun 2024 itu tetap pilkada langsung," tambahnya.
Baca juga:
Sebelumnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menilai perlu adanya kajian dan evaluasi terkait pilkada, baik pemilihan bupati, wali kota, hingga gubernur. Hal itu muncul saat MPR menggelar pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 10 Oktober.
Wakil Ketua MPR Yandri Susanto, mengatakan pemilihan kepada daerah (Pilkada) oleh DPR dan DPRD perlu dikaji kembali lantaran ada sistem demokrasi saat ini yang membuat biaya politik menjadi tinggi dan berdampak pada lahirnya tindakan korupsi.
"Disertasi Pak Gamawan (Fauzi, mantan menteri Dalam Negeri) tentang perlunya kembali ke sistem pemilihan (oleh) DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Jadi menurut kami ini yang perlu dikaji, jangan sampai membuat UUD berdasarkan kepentingan, itu tidak boleh," ujar Yandri, Senin, 10 Oktober.
Wakil Ketua Umum PAN itu mengungkapkan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengusulkan pilkada dipilih oleh DPR atau DPRD.
Saat itu Yandri merupakan bagian dari panitia kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
"Tapi Pak SBY pulang dari luar negeri kan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014, dari Perppu itu lahirlah tetap pemilu langsung, pilkada langsung. Lahirlah Undang Undang Nomor 10 tahun 2016," kata Yandri.
Sementara, Ketua MPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengaku sepakat jika sistem demokrasi hari ini perlu dikaji manfaat dan mudaratnya. Dia juga menyoroti kaitan antara demokrasi dengan korupsi yang marak terjadi saat ini.
Menurutnya, lima periode Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tak bisa mengatasinya jika evaluasi tak dilakukan. Karenanya, kata Bamsoet, MPR terus melakukan kajian terkait persoalan bangsa yang perlu dievaluasi, termasuk mekanisme dari pemilihan umum (pemilu).
"Jadi kita persilakan nanti DPR untuk mengkajinya kembali. Apakah sistem pemilu yang hari ini kita jalankan, lebih banyak manfaatnya atau justru lebih banyak mudaratnya," kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.