Benua Gila Sepak Bola Tertuju kepada Indonesia, dalam Suasana Simpati, Solidaritas, Duka, dan Juga Marah
JAKARTA - Benua Eropa benar-benar tertuju kepada Indonesia. Dalam suasana simpati, solidaritas, duka, dan juga marah mengecam kekerasan dalam olahraga sekaligus berharap peristiwa itu tak terulang, apalagi di benua mereka.
Ada beberapa sudut stadion yang memasang spanduk dalam nada mengkritik dan mengecam pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab di balik kematian lebih dari 100 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang. Itu terlihat di markas Bayern Muenchen di Allianz Arena, ketika klub Liga Jerman ini menjamu Victoria Plzen dalam pertandingan fase grup Liga Champions.
Tak berlebihan, dikutip dari Antara, benua gila sepak bola itu pernah mengalami tragedi paling memalukan dalam sejarah sepak bolanya pada 29 Mei 1985, sebelum final Piala Eropa (kini Liga Champions) antara Liverpool dan Juventus di Stadion Heysel, Brussels, Belgia.
Akibat tragedi itu, Liverpool dilarang tampil selama enam tahun dalam kompetisi-kompetisi Eropa. Tak hanya itu, klub-klub Liga Inggris lainnya ikut terkena getah karena dilarang berkompetisi di Eropa selama sekian tahun.
Setelah tragedi itu, klub-klub Inggris memberlakukan aturan ketat guna mencegah pembuat onar masuk stadion, sampai kemudian mereka membuat undang-undang Football (Disorder) Act pada 1991.
Tetapi Tragedi Kanjuruhan terjadi bukan karena bentrok antar-suporter, seperti antara pendukung Liverpool dan suporter Juventus pada 1985.
Baca juga:
- Gelar Rapat Evaluasi Bareng PSSI, Menpora Singgung Suporter Soal Pemahaman Hak dan Kewajiban
- Rekap Hasil Pertandingan Liga Europa Dini Hari Tadi: MU dan Arsenal Menang, Roma Terbungkam
- 3 Pemain Indonesia U-17 Mendapat Pujian dari Pelatih UEA, Siapa Saja Mereka?
- Kata Ketum PSSI soal Penetapan Dirut PT LIB sebagai Tersangka Kasus Tragedi Kanjuruhan Malang
Tragedi di Malang itu terjadi karena berdesak-desakan di pintu keluar stadion, seperti umum pernah terjadi di Ghana pada 2001 dan Peru pada 1964, yang semuanya dipicu oleh tembakan gas air mata ke arah penonton, yang tadinya ditujukan untuk membubarkan massa yang marah.
Sama dengan di Eropa, setelah tragedi ini, ada harapan dan keinginan besar bahwa iklim sepak bola Indonesia berubah menjadi jauh lebih baik, seperti wajah sepak bola Inggris dan Eropa yang berubah drastis setelah Tragedi Heysel 1985.
Harapan itu menjadi dambaan semua, dari FIFA, pemerintah, PSSI, pemangku kepentingan lainnya, sampai suporter. Semuanya sepakat tragedi di Stadion Kanjuruhan itu tak boleh terulang.