Presiden B.J. Habibie Hentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Sejarah Hari Ini, 16 September 1998
JAKARTA - Sejarah hari ini, 24 tahun yang lalu, 16 September 1998, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan instruksi yang menghentikan pengunaan istilah pribumi dan non pribumi. Perintah itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1999.
Habibie ingin mewujudkan persamaan kedudukan hukum hingga memperkokoh persatuan. Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tapi satu jua. Begitulah yang diingikan olehnya. Tiada lagi pembedaan atas dasar suku, agama, warna kulit, dan ras. Semuanya tetap Indonesia.
Resesi ekonomi 1997-1998 membawa kesengsaraan bagi segenap rakyat Indonesia. Banyak bidang usaha gulung tikar. Pengangguran di mana-mana. Apalagi harga tukar rupiah mencapai titik terendah. Rupiah kala itu mencapai posisi Rp16 ribu per dolar AS.
Pemerintah pun mencoba segala macam cara untuk meredam dampak dari resesi. Namun, tiada ajian yang tepat guna. Lagi pula perilaku pemangku kebijakan justru banyak yang mencari selamat sendiri. Dampaknya besar. Soeharto kelabakan. Orde Baru (Orba) yang digadang-gadang sebagai era perubahan diramalkan segera berakhir.
Nyatanya, ramalan itu cukup tepat. Kuasa Soeharto yang dulunya dianggap tak bisa digoyang, apalagi ada kekuatan militer di baliknya hancur lebur diterpa resesi ekonomi. Soeharto pun lengser pada 1998. B.J Habibie pun lalu didaulat sebagai Presiden Indonesia yang menggantikan Soeharto.
Di awal-awal pemerintahannya, tak sedikit yang meragukan kapasitas Habibie. Ia dinilai baik dalam bidang pengembangan teknologi, namun tidak cukup pengalaman untuk dunia politik. Namun, ia membungkam banyak mulut yang meragukannya.
“Ternyata B.J. Habibie bisa menyetop terjun bebas rupiah pada posisi Rp16 ribu per dolar AS. B.J. Habibie bukan saja menyetop penurunan nilai rupiah, tetapi ia mampu mengembalikan nilai rupiah secara sistematis ke arah yang sehat. Memang masa itu merupakan hari-hari panjang dengan berbagai dinamika yang dialami B.J. Habibie dalam hidupnya. Presiden Soeharto tiba-tiba lengser, dan tiba-tiba ia mendapat amanah menjadi kepala negara.”
“Sebuah amanah yang diembannya sebagaimana tanggung jawabnya sebagai Wapres. Modal yang ada pada diri B.J. Habibie, seperti yang diakuinya, hanya karena ia memiliki pengalaman yang tidak ternilai sebagai anggota kabinet pembangunan selama lebih dari 20 tahun. la mengenal setiap persoalan baik secara makro dan mikro,” ungkap A. Makmur Makka dalam buku Inspirasi Habibie (2020).
Tak hanya gebrakan di bidang ekonomi saja. B.J Habibie turut melanggengkan gebrakan lainnya satu demi satu. Upayanya menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, misalnya. Upaya itu diwujudkan lewat Instruksi Presiden pada 16 September 1998.
B.J. Habibie mengajak seluruh jajaran untuk menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi. Sebab, kesan beda-membedakan terasa kentara dalam istilah itu. Apalagi, bekangan istilah itu kerap dianggap sebagai biang dari hadirnya rasisme.
“PERTAMA: Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.”
“KEDUA: Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada warga negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut,” tulis surat instruksi tersebut.
Baca juga:
- Kepatuhan Militer: Senjata Presiden Soeharto Bertahan Hingga 32 Tahun
- Bung Karno Mengamati Dunia Islam dari Pengasingan Ende dalam Sejarah Hari Ini, 15 September 1935
- Kiprah Jenderal Hoegeng Imam Santoso Saat Menjabat Kepala Djawatan Imigrasi
- Ali Sadikin Mendirikan Jakarta Racing Management dalam Sejarah Hari Ini, 14 September 1970