Obstruction of Justice dalam Kasus Ferdy Sambo dan Ancaman Hukuman bagi Para Pelakunya

JAKARTA - Inspektorat Khusus (Irsus) Polri telah memeriksa 97 personel terkait kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Dari jumlah tersebut, 28 orang ditetapkan sebagai terduga pelanggar etik dan 7 orang sebagai tersangka obstruction of justice, merintangi proses hukum. Pemberian sanksi akan ditentukan melalui sidang etik.

“Hanya 35 orang yang kami pilah-pilah, sesuai bobot perannya masing-masing. Apakah yang bersangkutan di bawah tekanan, apakah mereka tidak tahu bahwa yang mereka lakukan itu bagian dari skenario, atau bahkan mereka ikut dalam skenario. Ini sidang etik yang akan menentukan terkait pemberian sanksinya,” ucap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR RI pada 24 Agustus 2022.

Hingga saat ini, tercatat sudah lima kali Komisi Kode Etik Polri menggelar sidang etik terkait kasus tersebut, rinciannya sebagai berikut:

  • Sidang etik pertama digelar pada 26 Agustus 2022 dengan tersangka obstruction of justice Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.

    Kabaintelkam yang juga menjadi Ketua Sidang Komisi Kode Etik, Komjen Ahmad Dofiri menyatakan Ferdy Sambo secara sah dan meyakinkan melanggar 7 aturan terkait Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri seperti yang termaktub dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022, juncto pasal 5 ayat 1 huruf B, juncto Pasal 8 huruf B, juncto pasal 8c angka 1, juncto Pasal 10 ayat 1 huruf F, juncto Pasal 11 ayat 1 huruf A, juncto Pasal 11 ayat 1 huruf B, dan juncto Pasal 11 ayat 1 huruf B.

    Komisi Kode Etik Polri menjatuhkan sanksi terhadap Irjen Ferdy Sambo berupa sanksi bersifat etika karena telah melakukan perbuatan tercela dan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri. Irjen Ferdy Sambo mengajukan banding.

  • Sidang etik kedua pada 1 September 2022 dengan tersangka obstruction of justice Mantan Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri Kompol Chuck Putranto

    Lulusan Akpol 2006 ini lahir di Toraja Sulawesi Selatan tahun 1984. Ayahnya adalah pensiunan polisi berpangkat terakhir brigadir jenderal.

    Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Belitung Timur, kemudian dipindahkan ke Bareskrim Polri sebagai Kepala Sub Unit II Sub Direktorat III Dirtipidum Polri. Kompol Chuck diketahui telah melakukan pemindahan transmisi dan perusakan barang bukti CCTV di tempat kejadian perkara Duren Tiga, Jakarta Selatan. Kabarnya, dia juga yang mengawal dua laporan dugaan percobaan pembunuhan dan dugaan pelecehan seksual terhadap istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.

    Komisi Kode Etik Polri memberikan sanksi PDTH sebagai anggota Polri.   Kompol Chuck mengajukan banding atas putusan tersebut.

  • Sidang etik ketiga pada 2 September 2022 dengan tersangka obstruction of justice Mantan Kasubbag Riksa Baggak Etika Rowabprof Divpropam Polri Kompol Baiquni Wibowo

    Sebelum bertugas di Divpropam Polri, pria berusia 38 tahun ini sempat menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Ambon, Kaurbinpam Subbid Paminal Bid Propam Polda Maluku, dan Kasat Narkoba Polres Bukittinggi. Dia pun pernah menjadi anggota satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di bawah Sub Direktorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.

    Kompol Baiquni diketahui memiliki peran yang sama dengan Kompol Chuck. Komisi Kode Etik Polri memberikan lulusan Akpol 2006 ini sanksi PDTH sebagai anggota Polri. Kompol Baiquni juga mengajukan banding.

  • Sidang etik keempat pada 7 September 2022 dengan tersangka obstruction of justice Mantan Kepala Detasemen A Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Kombes Agus Nurpatria.

    Sebelumnya, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1995 ini tercatat pernah menjabat sebagai Kasbudit Dikyasa Ditlantas Polda Kalimantan Selatan, kemudian Kapolres Subang pada 2015, Kabid Propam Polda Banten, dan Kabid Propam Polda Kepulauan Riau pada 2020.

    Agus Nurpatria diputus bersalah karena melakukan perusakan CCTV di pos satuan pengamanan di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Ia juga dinilai tidak profesional dengan menghalangi penyidikan, termasuk pemufakatan obstruction of justice bersama enam tersangka obstruction of justice lain.

    Komisi Kode Etik Polri memberikan sanksi PDTH sebagai anggota Polri.Kombes Agus Nurpatria mengajukan banding atas putusan tersebut.

“Banding merupakan hak pelanggar karena banding diatur dalam Pasal 69 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022. Sehingga banding akan tetap diproses oleh Kepala Biro Pertanggungjawaban Profesi Propam Divisi Propam Polri,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, Rabu (7/9).

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan banding merupakan hak pelanggar. Diatur dalam Pasal 69 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022. (VOI/Rizky Adytia Pramana)

Tiga tersangka obstruction of justice lainnya masih menunggu jadwal sidang. Mereka adalah Mantan Karopaminal Divisi Propam Polri Brigjen Hendra Kurniawan, Mantan Wakadaen B Biropaminal Divisi Propam Polri AKBP Arif Rahman Arifin, Mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri AKP Irfan Widyanto.

  • Sidang etik kelima pada 8 September 2022 terhadap pelaku pelanggar etik mantan Paur Subbagsumda Bagrenmin Divpropam Polri, AKP Dyah Chandrawati (DC).

    Dyah saat ini telah dimutasi sebagai Pama Yanma Polri. Komisi Kode Etik Polri memberikan sanksi mutasi bersifat demosi atau pemindahan jabatan ke yang lebih rendah selama 1 tahun. Juga, sanksi etika. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Dia harus menyampaikan permohonan maaf secara lisan dan tertulis di depan Tim Komisi Kode Etik Polri.

“Pelanggaran AKP Dyah masuk klasifikasi pelanggaran sedang yaitu berupa ketidakprofesionalan dalam pengelolaan senjata api dinas. Pasal yang dilanggar Pasal 5 ayat 1 huruf C Peraturan Kepolisian 7 Tahun 2022 yaitu menjalankan tugas dan wewenang dan tanggung jawab secara profesional, proporsional, dan prosedural,” ucap Kabag Penum Kombes Nurul Azizah di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (8/9).

Sebanyak 27 pelanggar etik lainnya juga masih menunggu jadwal sidang.

Pengenaan Sanksi

Dalam Pasal 107 Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) menyatakan pejabat Polri yang melakukan pelanggaran dikenakan sanksi berupa: sanksi etika dan/atau sanksi administratif.

Selanjutnya, sesuai Pasal 108, sanksi etika meliputi:

  1. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela
  2. Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan sidang KKEP dan secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan
  3. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan rohani, mental, dan pengetahuan profesi selama 1 (satu) bulan.

“Sanksi tersebut dikenakan terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran dengan kategori ringan,” bunyi Pasal 108 ayat 2.

Sementara, sanksi administratif diatur dalam Pasal 109 meliputi:

  1. Mutasi bersifat Demosi paling singkat 1 (satu) tahun
  2. Penundaan kenaikan pangkat paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
  3. Penundaan pendidikan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
  4. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat

“Sanksi administratif dapat dikenakan terhadap terduga pelanggar yang melakukan pelanggaran dengan kategori sedang dan kategori berat,” bunyi Pasal 109 ayat 2.

AKP Dyah Chandrawati (DC), polwan pertama yang menjalani sidang etik sebagai pelanggar etik dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Pelanggaran AKP Dyah masuk klasifikasi pelanggaran sedang yaitu berupa ketidakprofesionalan dalam pengelolaan senjata api dinas. (Tangkapan layar Presisi TV)

Kemudian, Pasal 110:

(1) Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107, bersifat kumulatif dan/atau alternatif sesuai dengan penilaian dan pertimbangan Sidang KKEP.

(2) Penjatuhan sanksi KEPP tidak menghapuskan tuntutan pidana dan/atau perdata.

(3) Penjatuhan sanksi KEPP gugur karena Terduga Pelanggar meninggal dunia.

Pasal 111:

(1) Terhadap Terduga Pelanggar KEPP yang diancam dengan sanksi PTDH diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas dasar pertimbangan tertentu sebelum pelaksanaan Sidang KKEP.

“Pertimbangan tertentu yang dimaksud adalah: Memiliki masa dinas paling sedikit 20 tahun; Memiliki prestasi, kinerja yang baik, dan berjasa kepada Polri, bangsa dan negara sebelum melakukan pelanggaran; Tidak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun,” sesuai bunyi ayat 2 pasal 111.