JAKARTA - Sejak medio Juli 2022, laman media sosial maupun media arus utama seolah terfokus dengan perkembangan kasus pembunuhan Brigadir J yang terjadi di rumah dinas Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022.
Rakyat melalui sosial media terus menuntut pemerintah dan Kapolri mengusut tuntas kasus tersebut. Tagar BrigadirJ, TangkapFerdySambo, PutriSambo, SiapKawalPolri sempat menjadi tren hashtag twitter sekiranya dalam satu bulan terakhir.
Mafhum adanya, sejak Karopaminal Polri memaparkan kronologi kasus, banyak hal yang terdengar janggal. Apakah mungkin seorang ajudan berani masuk kamar pribadi atasannya tanpa ada undangan? Apakah mungkin juga seorang Brigadir kalah dalam baku tembak dengan seorang Bharada? Hebatnya lagi, tidak ada luka sedikitpun yang dialami Bharada tersebut. Sedangkan Si Brigadir tewas dengan lima luka tembakan.
“Tak perlu orang berilmu tinggi untuk menjawab itu,” komentar netizen di twitter pada 20 Juli 2022.
Kini, bukan hanya menyoal kasusnya saja, pembahasan kematian Brigadir J di sosial media telah melebar, bahkan cenderung liar hingga memunculkan beragam isu negatif. Mulai dari isu perselingkuhan Putri dengan ajudannya, perselingkuhan Ferdy Sambo dengan Polwan cantik, hingga isu Ferdy Sambo LGBT.
Dua pekan terakhir, bahkan muncul isu lebih liar, dengan kemunculan dua bagan konsorsium 303. Dalam bagan tertera sederet nama perwira Polisi yang mengorganisasi kegiatan judi di Indonesia. Bagan pertama Ferdy Sambo di puncak strukturnya. Sedangkan bagan kedua, Kabareskrim Polri Agus Andrianto yang berada di puncak struktur.
Terlepas benar atau tidaknya, bagan tersebut telah membongkar habis kebobrokan institusi Polri. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso berasumsi bagan dibuat oleh kelompok-kelompok di internal kepolisian yang berlawanan dengan Ferdy Sambo. Tujuannya, mungkin ingin menggusur Ferdy Sambo dan kawan-kawannya dari posisi elite Polri.
“Skema (bagan) tersebut dibuat seperti model yang biasa dibuat oleh anggota Polisi dan itu lengkap dengan data-datanya. Dalam hal ini IPW akan melihat kelompok mana yang akan naik dan akan tetap dicermati dan dikritisi karena praktik geng mafia bukan tidak mungkin terulang lagi bila Polri tidak melakukan pembenahan besar-besaran,” tuturnya kepada VOI.
Tahap Amplifikasi
Pengamat Komunikasi Publik dari Universitas Brawijaya, Maulina Pia Wulandari menilai beragam isu tersebut menyebar liar sebagai buntut dari ketidakbecusan Polri dalam mengelola isu dan krisis yang sedang terjadi.
Munculnya isu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain, karena ketidakpuasan sekelompok masyarakat, terjadinya peristiwa dramatis, perubahan sosial, dan kurang optimalnya kekuatan pemimpin.
“Dalam konteks krisis yang terjadi di Polri, munculnya isu-isu tersebut disebabkan oleh: terjadinya peristiwa besar yang dramatis, kurang optimalnya kekuatan pemimpin, dan saya menambahkan satu lagi yang menurut saya ini adalah alasan utama munculnya berbagai isu yaitu rendahnya kepercayaan masyarakat pada institusi Polri,” ucap Maulina dalam keterangan tertulisnya kepada VOI, Selasa (30/8).
Saat ini, tahapnya tidak lagi sekadar defensive issue, melainkan sudah tahap amplifikasi, tahap mulai munculnya tekanan karena kelompok yang berpandangan sama saling bertukar pikiran sehingga membuat isu mulai meluas.
“Lihat saja saat Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Kapolri, DPR RI mendesak Kapolri menjelaskan isu-isu yang beredar di sekeliling kasus FS,” lanjut Maulina.
Meski hanya bersifat grapevine atau selentingan, bukan berarti isu bisa diacuhkan dan berharap akan hilang dengan sendirinya tanpa harus ditanggapi.
Isu yang dibiarkan berkembang secara liar dan tidak ditangani secara baik akan berpotensi besar menimbulkan krisis baru yang menambah beban Polri dalam mengatasi krisis utama yaitu masalah pembunuhan Brigradir J.
“Saya justru melihat Polri akan memasuki krisis berikutnya yaitu krisis kerajaan judi online dan krisis budaya buruk dan struktural di tubuh Polri,” kata Maulina berasumsi.
Meminta Maaf
Itulah mengapa, Maulina menyarankan Polri harus mengubah strategi penanganan isu dan krisis yang sedang dihadapi. Cara-cara lama yang cenderung manipulatif harus segera ditinggalkan. Jangan lagi menggunakan strategi denial, blaming others dengan tujuan mengalihkan isu. Suka tidak suka, mau atau tidak mau, isu-isu liar yang saat ini berkembang harus ditangani dengan presisi, transparansi, dan beretika.
Polri, menurut Maulina harus segera meminta maaf kepada publik, termasuk ke keluarga Brigadir J atas kegaduhan dan tragedi yang dilakukan oleh anggotanya. “Permintaan maaf memiliki arti sangat penting bagi banyak pihak. Untuk mengurangi sanksi sosial yang diberikan masyarakat serta untuk mendapat dukungan moral dari publik dalam mengatasi krisis.”
Selain itu, Polri harus mampu menunjukkan bagaimana isu-isu liar yang merusak reputasi Polri seperti isu kerajaan judi online di dalam Polri dan buruknya budaya di tubuh Polri diselesaikan secara terbuka dan transparan.
Maulina mengakui Polri memang telah berupaya meredam isu dengan aksi memberantas kegiatan judi online di seluruh daerah, tetapi sayangnya tidak terlalu mendapat respon positif. Sebab, publik memandang aksi ini hanya sekadar respon sesaat tanpa menjawab inti dari isu yang beredar.
“Hanya menangkap pelaku judi online dan agennya bukan menangkap bandar dan bos judi yang sesungguhnya, terutama oknum Polri yang menjadi pelindungnya. Tak salah jika publik masih menganggap kinerja Polri belum optimal membongkar kasus Konsorsium 303 dan kerajaan judi online di tubuh Polri,” ungkap Maulina.
“Kapolri tidak perlu takut dan ragu karena sebagian besar masyarakat, DPR RI, bahkan Presiden RI pasti mendukung upaya bersih-bersih di tubuh Polri. Pilihlah penasehat yang benar-benar kompeten, punya kapabilitas dan integritas,” ujar Maulina menandaskan.