Rektor Universitas Lampung, Karomani Kena OTT KPK: Tak Ada yang Bisa Diharapkan dari Pendidik yang Korupsi

JAKARTA - Korupsi pada era reformasi jauh lebih masif ketimbang era Orde Baru. Pada zaman Orde Baru korupsi lebih terkoordinasi karena ada figur Presiden Soeharto. Namun, sekarang lebih tidak beraturan.

Bahkan, korupsi sudah menjalar di semua sektor saat ini. Lebih miris lagi, telah menggorogoti lembaga pendidikan di Indonesia.

Tengok Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (19/8). Enam dari delapan pelaku merupakan kalangan akademisi dari universitas negeri pertama dan tertua di Provinsi Lampung, Universitas Lampung (Unila).

Para pendidik di Unila yang dicokok KPK adalah: Rektor Unila Karomani, Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Unila Budi Sutomo, dan Ketua Senat Unila Muhammad Basri. Ada juga dosen Unila Mualimin, Dekan Fakultas Teknik Unila Helmy Fitriawan, dan Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi.

“Karomani, Budi, dan Basri terjaring OTT di Bandung. Sedangkan Mualimin, Helmy, dan Heryandi di Lampung. Dua orang lagi yang terjaring adalah ajudan Karomani, Adi Trwibowo yang terjaring juga di Bandung dan Andi Desfiandi, pihak swasta yang kami tangkap di Bali,” terang Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Kombes Asep Guntur Rahayu dalam keterangan pers di kantornya, Minggu (21/8).

Banner bergambar Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Dr Karomani yang ditangkap KPK, terpampang di Gedung Rektorat Unila Bandarlampung, Minggu, (21/8/2022). (Antara/Dian Hadiyatna)

Dari 8 orang yang terjaring OTT, 4 di antaranya sudah ditetapkan tersangka oleh KPK. Yakni, Karomani, Heryandi, Muhammad Basri, dan Andi Desfiandi. Mereka diduga mematok tarif masuk untuk mahasiswa baru tahun 2022 yang menggunakan jalur mandiri di Universitas Lampung.

Karomani sebagai rektor memiliki wewenang menentukan kelulusan calon mahasiswa baru yang masuk melalui Seleksi Mandiri Masuk Unila (Simanila) tahun 2022. Dia memerintahkan bawahannya menyeleksi secara personal peserta Simala.

Kemudian, bawahan yang mendapat perintah dari Karomani berkomunikasi dengan orangtua mahasiswa untuk meminta uang agar anak mereka dapat dinyatakan lulus Simanila.

Uang yang diminta, kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, berkisar Rp100-350 juta.

“Berdasar perhitungan, suap yang diterima Karomani sudah senilai lebih dari Rp5 miliar,” katanya.

Dari OTT tersebut, KPK telah mengamankan barang bukti berupa kartu ATM dan buku tabungan sebesar Rp1,8 miliar saat OTT di Bandung. Juga, uang tunai sebesar Rp414,5 juta, slip setoran deposito di salah satu bank sebesar Rp800 juta, dan kunci safe deposit box yang berisi emas senilai Rp1,4 miliar dari OTT di Lampung.

Para tersangka korupsi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di Universitas Lampung: Rektor Universitas Lampung Karomani (kedua kanan), Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi (kanan), Ketua Senat Muhammad Basri (kedua kiri) dan pihak swasta Andi Desfian. (Antara/Sigid Kurniawan)

Tentu, tindakan korupsi yang dilakukan oleh para akademisi tersebut telah mencoreng Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai wadah pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Perguruan tinggi yang seharusnya dapat menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, untuk kesekian kalinya belum mampu membuktikan nilai-nilai yang lebih baik.

Direktur PolEtik Strategic, M Subhan mengakui korupsi di perguruan tinggi bukan kali pertama terjadi. Dalam sepuluh tahun terakhir, sudah ada sejumlah rektor yang tersangkut kasus korupsi.

Kendati begitu, apa yang terjadi sungguh kontradiktif. Rektor atau pendidik yang seharusnya menjadi panutan justru melakukan sesuatu yang tidak terdidik. Jauh dari nilai-nilai pendidikan.

“Miris, menyedihkan, sekaligus memprihatinkan. Mencoreng, merusak, dan meruntuhkan citra integritas perguruan tinggi negeri. Rektor itu pucuk pimpinan, orang yang harusnya sudah selesai dengan dirinya,” katanya kepada VOI, Senin (22/8).

Potong Satu Generasi

Indonesia, kata Subhan, memang tengah berada pada fase kehancuran. Korupsi telah menjadi kanker, bahkan terus bermutasi hingga merusak sendi-sendi kehidupan. Di tingkat RT/RW saja banyak ditemukan kasus korupsi.

Padahal, agenda awal reformasi adalah anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Namun realitasnya, itu hanya sekadar slogan saat ini. Tidak ada komitmen untuk mewujudkannya.

Bahkan, generasi yang saat itu meneriakkan semangat anti KKN justru ikut larut dan terbawa arus, tidak bisa lagi diharapkan.

“Ada satu meja penuh berisi makanan. Pada zaman orde baru, koruptor hanya mengambil makanannya. Kalau zaman sekarang, tidak hanya makanan, mejanya pun hilang digondol. Sepertinya langit Indonesia mau runtuh,” Subhan mengilustrasikan.

Mengubah karakter manusia memang sulit, tapi bukan tidak bisa. Cara ekstrem mengatasi bahaya laten korupsi, menurut Subhan, adalah memotong satu generasi.

Gedung Rektorat Universitas Lampung (Unila) di Bandarlampung. (Antara/Dian Hendriyana)

Berkacalah dari generasi emas pada era Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Hatta, Syahrir. Tahukah kisah Bung Hatta yang selalu menjaga dirinya untuk tidak korupsi? Padahal, posisi dia sangat berkuasa, ahli ekonomi yang juga menjabat sebagai wakil presiden. Namun, sampai akhir hayatnya, Bung Hatta tidak pernah bisa membeli sepatu impiannya.

“Bung Hatta pernah menggunting gambar sepatu Bally. Dia bilang, kalau saya punya uang saya akan beli sepatu ini. Tapi hingga akhir hayatnya, dia tak juga mampu membeli sepatu Bally. Sebenarnya, tinggal minta saja pasti dikasih, bahkan mungkin dikasih yang lebih bagus lagi, tapi Bung Hatta tidak mau,” tutur Subhan

Sejatinya, pendidikan adalah pondasi bangsa. Pendidikan yang berkualitas tentu akan menghadirkan generasi-generasi yang berkualitas.

Kualitas pendidikan tidak melulu menyoal pengetahuan, melainkan juga karakter dan adab. Adab dan pengetahuan harus berjalan seiring.

Mahasiswa Universitas Lampung (Unila) mendemo Karomani, Rektor Unila yang terkena OTT KPK karena diduga melakukan korupsi dalam penerimaan mahasiswa baru lewat jalur mandiri. (lampungpro.co) 

“Kalau ilmu meninggalkan adab, ya seperti sekarang. Orang tidak lagi punya tanggung jawab sosial, lebih individualis, pada akhirnya mereka menganggap korupsi hal biasa. Jabatan tidak menjadi pengabdian melainkan job seeker,” ucapnya.

Soekarno, Hatta, Syahrir, Ki Hajar Dewantara telah memberikan contoh peran pengetahuan dan adab sebagai pondasi mendirikan bangsa. Namun, mengapa, generasi penerusnya hanya menganggap itu sekadar cerita keagungan tempo dulu tanpa mengambil pelajaran penting di dalamnya?

“Sadarlah, korupsi bahaya serius, dampaknya untuk bangsa dan negara sangat fatal,” tandas Subhan.