Ahok Dilantik Lalu Dibui

JAKARTA - Pada 19 November 2014, Basuki Tjahaja Purnama yang biasa dipanggil Ahok dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pelantikan tersebut dilakukan setelah Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden Republik Indonesia. Ahok sebagai wakil gubernur, otomatis menggantikan posisi Jokowi menjadi gubernur.

Sejak awal rencana pelantikan Ahok, berbagai kontroversi muncul. Sebelum dilantik menjadi gubernur, Ahok keluar dari Partai Gerindra. Ahok mengaku memiliki perbedaan pandangan terkait Undang-Undang (UU) Pilkada. Akibat pengunduran dirinya tersebut, ia bersitegang dengan Gerindra.

Mengutip CNN, ketegangan tersebut berujung dengan penolakan Gerindra dan mitra koalisinya --yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih-- atas dilantiknya Ahok. Namun Koalisi Indonesia Hebat dan Kementerian Dalam Negeri menginginkan pelantikan Ahok tetap dilakukan.

Permasalahan lain yang muncul adalah tidak setujunya Ahok diangkat sebagai gubernur dengan alasan agama. Front Pembela Islam bersama Gerakan Pembela Umat Rasulullah dan Laskar Pembela Islam menentang keras pelantikan Ahok. Kedua pihak tersebut merasa bahwa karena mayoritas penduduk Jakarta adalah Islam, seharusnya pemimpinnya juga dari kalangan Islam.

Kebijakan populis Ahok

Ahok (Sumber: Setkab)

Ahok dikenal sebagai pemimpin yang tegas juga galak. Tapi, di balik sikapnya yang bagai doyan marah-marah, Ahok juga membuat gebrakan-gebrakan merapikan Jakarta. Ia mungkin bukan komunikator yang apik, tapi hampir pasti eksekutor kebijakan yang baik.

Salah satu kebijakan untuk mengatasi keruwetan Jakarta adalah dengan memindahkan warga Kampung Pulo yang berada di bantaran Sungai Ciliwung ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Relokasi tersebut sempat diwarnai bentrokan antara warga dengan aparat.

Relokasi yang dilakukan pada September 2015 itu berhasil membuat sejumlah warga pindah ke rusunawa yang berada di Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Warga awalnya mengeluhkan fasilitas rusunawa yang tidak baik. Namun perbaikan rusun segera dilakukan.

Ahok juga menggusur satu per satu bangunan di Kalijodo, kawasan yang terkenal sebagai lokasi prostitusi di perbatasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara, pada 29 Februari 2016. Tidak sekadar penggusuran, Kalijodo disulap Ahok menjadi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang diresmikan pada 22 Februari 2017.

Berlin Wall Section di RPTRA Kalijodo (Sumber: Commons Wikimedia)

Di era Ahok, Simpang Susun Semanggi dibangun. Mengutip Liputan 6, pembangunan tersebut menelan anggaran Rp579 miliar. Simpang Susun Semanggi juga disebut sebagai karya monumental DKI Jakarta untuk warganya. Jalan layang tersebut memiliki panjang 1.622 meter dan mempunyai desain yang unik dan mewah.

Selain itu, Ahok yang memimpin Jakarta bersama Djarot Syaiful Hidayat juga membawa perubahan dalam sisi birokrasi. Banyak hal yang dilakukan Ahok untuk reformasi birokrasi yang bertujuan untuk mengurangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

Beberapa langkah di antaranya adalah perampingan di Dinas Tata Kota. Ahok merombak birokrasi agar lebih efisien dan bersih. Ahok juga memberhentikan PNS indisipliner.

Menjelang akhir kepemimpinannya, Ahok terjerat kasus hukum. Ahok dianggap melakukan penistaan agama dan terbukti bersalah atas pernyataannya soal Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Ahok mendekam di penjara selama 2 tahun. Ahok bebas pada Januari 2019.