Cerita dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945: Malaria Bung Karno Kambuh namun Sembuh Berkat Obat Dokter, Bukan dengan Madu Yaman
JAKARTA - Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah momentum sakral. Soekarno dengan lihai membukanya dengan pidato yang berapi-api. Apalagi pada saat pembacaan teks proklamasi. Segenap pejuang kemerdekaan terbawa haru.
Namun, tak banyak yang mengetahui sebenarnya kondisi kesehatan Soekarno kurang baik. Malarianya kabuh. Untung Bung Karno diberi obat dokter. Bukan madu Yaman. Apalagi penyakit kambuhan itu telah dideritanya sejak lama. Bahkan, makin parah saat ia diasingkan ke Ende, Flores.
Nestapa acap kali melingkupi kehidupan Soekarno kecil. Ia hidup tak bisa lepas dari penyakit. Alias sakit-sakitan. Dari disentri hingga malaria. Orang tuanya kalang-kabut. Nama kecil Bung Karno, Kusno disebut-sebut sebagai biang keladi sakit-sakitan. Nama itu pun diganti menjadi Soekarno.
Pergantian nama dirasa efektif untuk beberapa saat. Namun, penyakit dari masa kecil Soekarno, malaria kerap kambuh. Penyakit itu membuat Soekarno dapat berhari-hari istirahat di tempat tidur. Aktivitas perlawanan Soekarno terhadap Belanda menjadi terganggu.
Malaria kambuhan Soekarno sempat makin parah ketika ia dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Ende, Flores pada 1933. Soekarno stres bukan main kala dibuang di Ende. Kondisi itu memengaruhi kesehatannya. Seperti yang sudah-sudah, malarianya kambuh.
Bung Karno absen dari aktivitasnya sehari-hari. Merenung apalagi. Kala itu, seorang dokter mengungkap Bung Karno mendekati kematiannya karena malaria. Semangatnya remuk redam. Akan tetapi, istrinya Inggit Garnasih selalu berada di samping Bung Karno untuk menyemangati.
Semangat hidup Bung Karno pun meninggi. Apalagi dengan tekadnya yang kuat untuk membawa Indonesia merdeka. Sekalipun kemudian malarianya kerap kambuh.
“Sebenarnya keadaanku tidak dapat dikatakan sehat di tahun 1943, baik jasmani maupun rohani. Ketegangan‐ketegangan yang timbul telah mengorek‐ngorek jiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai penderita malaria yang melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama berminggu‐minggu terus‐menerus. Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat tidur yang kosong, aku dimasukkan ke kamar bersalin. Perempuan cantik‐cantik dibawa masuk di sebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu payah untuk dapat memperhatikan mereka.”
“Tambahan lagi aku menderita penyakit ginjal. Kadang‐kadang aku meringkuk dengan kaki rapat ke badan, oleh karena serangan‐serangan yang tidak tertahankan sakitnya. Adakalanya keluar keringat dingin, bahkan kadang‐kadang aku tidak dapat berdiri tenang di atas podium. Bukan sekali dua kali terjadi, bahwa setelah selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan,” terang Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).
Malaria Kambuh Saat Proklamasi
Penyakit malaria Soekarno kambuh tak kenal waktu. Bahkan, di tengah-tengah momentum bersejarah. Malarianya kambuh di hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kala itu, 17 Agustus 1945, dini hari Soekarno dan Hatta sudah meniatkan untuk berpuasa. Keduanya santap sahur di rumah Laksamana Maeda.
Keduanya pun pulang ke rumah masing-masing setelah santap sahur. Soekarno mulai merasakan badannya tak enak, sebagaimana biasa penyakit malarianya kambuh. Demamnya meninggi. Ia pun berinisiatif menghabiskan waktunya beristirahat di tempat tidur kediamannya di Pegangsaan Timur 56.
Pagi harinya belum ada tanda-tanda kondisi Soekarno akan bugar. Namun, segalanya berubah ketika dokter pribadinya, dr. R. Soeharto datang pada pukul 07:00. dr. R. Soeharto menemukan Bung Karno dalam keadaan demam yang tinggi.
Tindakan pun diambil. Bung Karno diberikan beberapa obat olehnya. Bung Karno terpaksa membatalkan puasa. Obat itu mujarab. Bung Karno dapat segera kembali bugar. Ia pun dapat segera menggoreskan tinta sejarah Indonesia bersama Hatta sebagai proklamator kemerdekaan.
Ada pun isu terkait Bung Karno diberikan madu Yaman dari saudagar Arab, sudah tentu salah dan tak dapat dibuktikan. Apalagi satu-satunya obat yang diminum Bung Karno adalah dari dokter pribadinya: dr. R. Soeharto.
“Ruang keluarga yang terletak di belakang rumah terlihat sepi. dr. R. Soeharto pun kemudian masuk ke kamar tidur Soekarno. Di kamar tidur itu ia menemukan Soekarno tergeletak tidur dengan suhu badan yang tinggi demam. Menurut keterangan dr. Moerwardi, Soekarno masuk ke kamarnya menjelang subuh setelah pulang dari merumuskan teks proklamasi di rumah jabatan Laksamana Maeda. Untuk beberapa dr. R. Soeharto membiarkan Soekarno tidur pulas.”
“Setelah beberapa saat, sekitar pukul 08:00, barulah dr. R. Soeharto kemudian melakukan observasi terhadap kondisi badan Soekarno. Terutama nadi, pernapasan, dan lain-lain. dari pemeriksaan itu, dr. R. Soeharto kemudian menyimpulkan bahwa Soekarno menderi penyakit malaria. Atas persetujuan Soekarno, dengan segera dr. R. Soeharto memberikan suntikan chinine-urethan intramesculair ke tubuh Soekarno dan selanjutnya Soekarno diberi broom chinine untuk diminum,” terang Sejarawan, Sri Margana yang berkolaborasi dengan rekannya Baha’Uddin meneliti dr. R. Soeharto, ketika dihubungi VOI, 18 Agustus.
Baca juga:
- Belanda Jatuhkan Hukuman Pengasingan ke Tiga Serangkai dalam Sejarah Hari, 18 Agustus 1913
- Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: Lagu Indonesia Raya Berkumandang Tanpa Musik
- Pidato Presiden Soeharto Jelang Kemerdekaan Indonesia ke-40, 16 Agustus 1985: Tinggalkan Perjuangan Bersifat Kedaerahan
- Sejarah Kemerdekaan Indonesia: Cerita Bendera Merah Putih Dijahit Ibu Fatmawati