Mencari Pemaparan Logis 'The Great Reset', Teori Konspirasi COVID-19 yang Kini Dikampanyekan World Economic Forum
JAKARTA - Sejak pandemi COVID-19 dimulai, narasi "the great reset" kerap dibicarakan. Bagi pengiman teori konspirasi, narasi itu bahkan bertahan lama sebagai landasan berpikir, soal bagaimana pandemi dimulai dengan sengaja dan mungkin akan berakhir untuk tujuan tertentu. World Economic Forum, dalam beberapa waktu belakangan gencar mempromosikan sebuah kampanye yang mereka sebut "The Great Reset". Kampanye itu mengundang reaksi ramai publik dunia. Para penggemar teori konspirasi bagai mencapai orgasmenya. Tapi, benarkah demikian?
Kicauan Paul Joseph Watson meledak. Ganjaran 947 Retweets, 160 Quote Tweets, serta 2.200 Likes cukup untuk mengangkat kicauan Paul menjadi perbincangan utama di linimasa Twitter dunia sejak Selasa malam, 17 November.
"Dalang 'Great Reset', Klaus Schwab menyarankan sejumlah tindakan kejam untuk mengendalikan populasi dalam bukunya, termasuk pemindaian otak penilaian risiko untuk lintas batas dan chip yang dapat ditanamkan untuk membaca pikiran orang," tertulis dalam kicauan itu, dikutip VOI, Rabu, 18 November.
Dalam kicauan itu Paul turut menyertakan tautan artikel berjudul Great Reset Masterminds Suggest Risk Assessment Brain Scans Before Allowing Travel, yang ia tulis di Summit News. Respons publik beragam, di mana sebagian besar meyakini apa yang dikatakan Paul. Mereka menyebut Klaus Schwab sebagai psikopat, orang gila, bahkan Hitler. Sebagian lain juga menyatakan keterkejutan mereka, tentang hal-hal yang mereka khawatirkan sejak awal pandemi akhirnya benar-benar terjadi.
Menelusuri sejumlah jejak digital, Paul diketahui adalah seorang penyiar radio dan presenter di YouTube. Wikipedia menyebut pria Inggris berusia 38 tahun itu sebagai "pembuat teori konspirasi sayap kanan jauh asal Inggris."
Paul dikenal dengan banyak nama samaran, seperti PJW, PropagandaMatrix, serta Anything Goes. Paul juga kerap disebut sebagai "Alt-Right" oleh beberapa sumber --merujuk ideologi 'kekanan-kananannya'. Sebutan itu sempat digunakan oleh Paul sebelum akhirnya ia mengganti namanya dengan sejumlah samaran lain.
Sementara, Klaus Schwab yang diberitakan Paul adalah seorang teknisi dan ekonom Jerman. Ia juga dikenal sebagai pendiri sekaligus Ketua Eksekutif World Economic Forum. World Economic Forum adalah yayasan organisasi non-profit yang jadi sarana bertemunya para pimpinan-pimpinan bisnis dunia, pemimpin politik, hingga cendekiawan dan wartawan-wartawan terpilih dari berbagai belahan bumi.
Keramaian narasi "the great reset" malam kemarin, bisa dibilang turut dipicu kampanye yang tengah dipromosikan World Economic Forum. Mengangkat frasa yang sama, kampanye "The Great Reset" World Economic Forum digelar sebagai upaya membangkitkan kesadaran otoritas dunia bahwa kebangkitan ekonomi dari pandemi COVID-19 hanya bisa dilakukan bersama dan dalam langkah-langkah yang paling radikal. Dikutip dari situs weforum.org, kampanye The Great Reset juga menekankan pada pentingnya otoritas dan pelaku bisnis dunia beradaptasi pada kenormalan baru.
Semangat kampanye itu bagai orgasme bagi pengiman teori konspirasi. Sejak awal mereka meyakini COVID-19 adalah rancangan terstruktur elite global untuk mengubah tatanan dunia, meski tak jelas juga tatanan dunia macam apa yang mereka maksud. Kampanye World Economic Forum bagai mencerahkan kebingungan mereka.
Semula bingung, mereka kini yakin tujuan dari segala yang terjadi ini adalah adaptasi ekonomi. Padahal, bagaimanapun itu masih sebatas asumsi. Kampanye World Economic Forum mungkin sejalan dengan fantasi mereka tentang ujung perjalanan pandemi. Namun, anggapan bahwa pandemi dimulai dengan sengaja tak pernah benar-benar terjawab.
"The Great Reset"
"Ada banyak alasan untuk melakukan 'Great Reset'. Tetapi yang paling mendesak adalah COVID-19. Setelah menyebabkan ratusan ribu kematian, pandemi ini merupakan salah satu krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam sejarah baru-baru ini. Dan dengan korban yang masih terus meningkat di banyak bagian dunia, ini masih jauh dari selesai," tertulis dalam situs World Economic Forum.
World Economic Forum mendorong pelaku bisnis dunia, termasuk otoritas pengambil kebijakan di berbagai negara untuk fokus pada prospek sosial dan ekonomi yang menjadi dampak pandemi COVID-19. Mereka mengatakan ada alasan kuat untuk khawatir: kemerosotan ekonomi yang tajam telah dimulai. Bahkan World Economic Forum memprediksi dunia akan mengalami depresi ekonomi terburuk sejak tahun 1930-an.
"Namun, meski begitu, hal ini bukan tak dapat dihindari ... Dunia harus bertindak bersama dan cepat untuk mengubah semua aspek masyarakat dan ekonomi kita, dari pendidikan hingga kontrak sosial dan kondisi kerja. Setiap negara, dari Amerika Serikat hingga China, harus berpartisipasi. Dan setiap industri, dari minyak dan gas hingga teknologi, harus diubah. Singkatnya, kita membutuhkan 'Great Reset' kapitalisme."
Menurut Financial Times, rata-rata utang pemerintah negara-negara dunia telah mencapai level tertinggi di masa damai. Lebih celaka lagi, angka pengangguran meroket di banyak negara. Di Amerika Serikat (AS), misalnya. Satu dari empat pekerja telah mengajukan diri sebagai pengangguran penerima bantuan. Angka klaim bantuan sosial di AS bahkan menyentuh rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Paman Sam.
International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan ekonomi dunia akan menyusut hingga 3 persen di akhir tahun. Hal itu dihitung dari penurunan 6,3 poin persentase yang terjadi hanya dalam waktu empat bulan. Segala kondisi itu akan memperburuk iklim dan krisis sosial yang tengah berlangsung. Bagi lingkungan, banyak negara telah menjadikan krisis COVID-19 sebagai alasan melemahkan perlindungan dan penegakan pelestarian lingkungan.
Begitu banyak masalah yang muncul dari kemerosotan ekonomi. Karenanya, menurut World Economic Forum, adaptasi harus segera dilakukan. Agenda The Great Reset World Economic Forum akan memiliki tiga komponen utama. Pertama adalah mengarahkan pasar menuju hasil yang lebih adil. Artinya, pemerintah harus meningkatkan koordinasi --dalam penyesuaian pajak, aturan, serta kebijakan fiskal.
Komponen kedua adalah memastikan investasi ditujukan untuk kemajuan bersama. Di sini, program pembelanjaan skala besar yang dilaksanakan oleh banyak pemerintah akan jadi kunci. Komisi Eropa, misalnya yang telah mengumumkan rencana pengucuran dana pemulihan ekonomi hingga 750 miliar euro. AS, China, dan Jepang juga telah mengambil langkah sama dengan rencana stimulus ekonomi yang ambisius.
Prioritas ketiga dari agenda The Great Reset adalah sepenuh-penuhnya beralih ke revolusi industri keempat. Segalanya harus digital. Setiap negara perlu membangun infrastruktur digital, baik untuk ekonomi ataupun layanan publik. Pandemi telah mengajarkan warga dunia soal kehidupan digital itu.
Baca juga:
Bagi World Economic Forum, The Great Reset adalah revolusi besar perekonomian dunia. COVID-19 mungkin telah menimbulkan banyak tragedi. Namun, tragedi tak boleh jadi satu-satunya warisan dari pandemi. Sebaliknya, pandemi mewakili jendela kesempatan yang langka namun sempit untuk merefleksikan, menata ulang, dan mengatur ulang dunia kita untuk menciptakan masa depan yang lebih sehat, adil, dan sejahtera.
Bagi para pengiman teori konspirasi, narasi "the great reset" kini makin nyata. Ketakutan mereka mengenai masa depan digital yang penuh kontrol juga terasa makin dekat. Namun, sekali lagi. Artikel ini adalah pemaparan logis. Kami tak akan menyentuh kesimpulan apapun terkait mana yang benar dan mana yang tidak. Pertimbangan membangun landasan pikiran, tentu saja jadi pilihan Anda.