Review Film Bullet Train, Petualangan Brad Pitt di Kereta Cepat Jepang

JAKARTA - Film Bullet Train karya sutradara David Leitch mengambil latar Jepang yang identik dengan kilauan lampu neon serta alunan lagu city pop yang terkenal di di kota-kota besarnya seperti Tokyo. Film yang dibintangi Brad Pitt ini menggambarkan sebuah perjalanan antarkota dengan menggunakan kereta peluru atau kereta cepat dari Tokyo ke Kyoto.

Film berfokus pada Ladybug (Brad Pitt), seorang mantan pembunuh profesional yang baru-baru ini menghadiri terapi, dan kembali bekerja dengan sikap optimistis dan positif dari sebelumnya.

Dia ditugaskan oleh manajernya, Maria Beetle, untuk menyelesaikan tugas sederhana: mencuri sebuah tas di dalam kereta peluru tersebut. Ladybug awalnya enggan, karena ia merasa memiliki nasib buruk setiap ia mendapatkan pekerjaan.

Tanpa sepengetahuan Ladybug, ternyata di dalam kereta tersebut terdapat sejumlah pembunuh lainnya, yaitu pembunuh bayaran bersaudara Tangerine (Aaron Taylor-Johnson) dan Lemon (Brian Tyree Henry).

Keduanya telah ditugaskan oleh The White Death (Michael Shannon), kepala sindikat kejahatan terbesar di dunia, yang pada hari ini telah menguasai dunia kriminal Jepang seutuhnya.

Selain itu, ada juga The Prince (Joey King) yang menjebak Yuichi Kimura (Andrew Koji), untuk membantunya mengambil tas tersebut serta memuluskan rencana terselubungnya. Kimura merupakan anak dari The Elder (Hiroyuki Sanada), mantan anggota yakuza yang dulunya berkuasa di Jepang.

Ada juga The Wolf (Bad Bunny) yang mencari pelaku dan membalas dendam atas kematian istrinya dan seluruh kartelnya. Serta ada juga The Hornet (Zazie Beetz), seorang pembunuh yang lihai menggunakan racun.

Para pembunuh bayaran ini berusaha mendapatkan tas misterius tersebut, sambil mencari tahu siapa dan apa yang membuat mereka akhirnya berjuang mempertahankan nyawa di dalam kereta cepat itu.

Bullet Train adalah film yang didasarkan dari novel Maria Beetle (2010) karya Kōtarō Isaka. Alih-alih mengambil protagonis yang sama dari karya tulis tersebut, sutradara David Leitch dan penulis naskah Zak Olkewicz mengambil putaran yang berbeda.

Di novel, lakon utamanya adalah Yuichi Kimura, sementara dalam film, adalah Ladybug. Selain itu, seluruh tokoh di dalam novel adalah orang Jepang, sedangkan di dalam film, tokoh Jepangnya hanya Kimura dan The Elder.

Keputusan ini tentu akan membuat pilihan dan alur cerita dengan novel menjadi berbeda. Namun, ini bukan hal yang berarti, mengingat penonton dibawa ke dalam perjalanan yang tak kalah menegangkan.

Berlatar hampir sepenuhnya di rangkaian gerbong kereta peluru, sutradara dan penulis naskah harus lihai merangkai adegan (scene) agar petualangan ini tidak membosankan untuk audiens.

Leitch, yang dikenal dengan karya-karya seperti "Atomic Blonde" (2017), "Deadpool 2" (2018), dan "Hobbs & Shaw" (2019), agaknya masih menggunakan formula yang sama untuk "Bullet Train", yakni gabungan aksi dengan elemen "kekerasan" yang cukup brutal namun dibalut sentuhan humor yang membuat penonton terkejut sekaligus menghibur dalam waktu bersamaan.

Upaya Leitch untuk menyatukan aksi brutal, humor, dan drama menyentuh pun bisa dibilang cukup berhasil. Terdapat beberapa adegan dan dialog yang sesekali mengaduk perasaan. Hanya saja, durasi film selama 2 jam agaknya tidak bisa menjelaskan latar belakang dan motif sederet karakter ini dengan dalam.

Namun, para aktor yang memerankan tokoh-tokoh utama dalam film ini mampu memiliki spotlight mereka. Salah satu yang tak bisa dilupakan adalah duo Taylor-Johnson dan Henry yang masing-masing memerankan Tangerine dan Lemon.

Seperti di dalam novel, Lemon menyukai serial animasi "Thomas the Tank Engine". Obsesinya yang besar pada animasi tentang kereta api tersebut menimbulkan tingkah dan guyonan yang mengocok perut. Ditambah dengan dinamika dan aksinya bersama Tangerine, semakin membuat duo ini begitu menyegarkan dan mudah dinikmati -- seperti layaknya segelas es jeruk dan lemonade.

Bagaimana dengan Pitt? Ya, tentu saja, aksi Pitt sebagai pembunuh bayaran yang mencoba menghadapi dunianya kelam dengan pikiran positif, menjadi sebuah trope baru yang berbeda dan komedik. Meski demikian, aksi Pitt yang menjalankan berbagai adegan stunts sendiri, juga menjadi nilai plus film ini.

Hal menarik lainnya dari "Bullet Train" adalah perpaduan bahasa Inggris dan Jepang yang bisa ditemukan di sepanjang film. Selain menegaskan latar, berbagai istilah, dialog, budaya pop (pop culture), dan huruf kanji yang disematkan pun menambah wawasan menarik bagi audiens, terutama mereka yang sebelumnya sudah familier dengan Jepang.

Salah satunya adalah pemilihan kata "Dangan Ressha" alih-alih "Shinkansen" yang lebih awam dikenal publik sebagai "bullet train" atau kereta cepat. Ternyata, meski memiliki arti sama dalam Bahasa Inggris, "Dangan Ressha" dan "Shinkansen" memiliki perbedaan di Jepang.

Jika menilik sejarahnya, Dangan Ressha muncul lebih awal daripada Shinkansen. Lebih lanjut, jika diartikan satu per satu dari huruf kanjinya, "Dangan Ressha" secara literal berarti "Kereta Peluru Bulat" atau "Bullet Train", sementara "Shinkansen" berarti "Jalur Utama Baru", namun karena dibangun dengan teknologi untuk melaju dengan kecepatan tinggi, akhirnya ia juga menjadi kosa kata untuk "Bullet Train".

Banyak istilah dan budaya pop Jepang lainnya yang bisa diulik sepanjang film ini, dan pastinya menyenangkan bisa belajar berbagai hal unik melalui sebuah film.

Secara keseluruhan, "Bullet Train" bisa menjadi pilihan tontonan bioskop yang ringan, mengasyikkan, namun juga menegangkan! Perlu diingat bahwa film ini cocok untuk ditonton oleh mereka yang berusia 17 tahun ke atas. Dikutip dari ANTARA, Bullet Train tayang di bioskop Indonesia mulai Rabu, 10 Agustus.