74 Migran Tewas di Laut Mediterania, Dunia Punya Masalah Memperlakukan Pengungsi
JAKARTA - Sebanyak 74 pengungsi tewas di tengah Laut Mediterania, Kamis, 12 November. Mereka terombang-ambing akibat kapal yang karam. Ada persoalan besar soal kebijakan migran di banyak negara dunia saat ini.
International Organization for Migration (IOM) mendesak pemerintah Libya segera membuka akses dan mengizinkan badan-badan asing turut serta dalam operasi penyelamatan para pengungsi, khususnya ketika mereka menghadapi masalah di tengah laut. Tragedi di pesisir Khums itu jadi refleksi penting kebijakan pengungsi di banyak negara dunia.
Perahu karam itu sebelumnya membawa total 120 penumpang, yang di antaranya adalah perempuan serta anak-anak. Tim pencarian dan penyelamatan (SAR) Libya bersama nelayan setempat telah menemukan 30 jasad pengungsi.
Upaya pencarian masih berlanjut. Sejak awal Oktober 2020, IOM melaporkan delapan insiden kapal karam yang jadi sebab puluhan pengungsi tewas di tengah laut.
"Pembatasan demi pembatasan terhadap kerja-kerja NGO terkait upaya penyelamatan harus segera dicabut. Pasalnya, intervensi mereka penting dan sejalan dengan kewajiban menyelamatkan nyawa," kata IOM, lewat siaran tertulis, Jumat, 13 November.
Otoritas di Libya telah menetapkan kawasan khusus pencarian dan penyelamatan yang membatasi badan-badan asing melakukan operasi penyelamatan terhadap para pengungsi yang menghadapi masalah di tengah laut. Menurut IOM, regu penyelamat Libya memiliki kapasitas dan jumlah anggota yang terbatas sehingga sering kali operasi penyelamatan pun terhambat.
"Setidaknya pada tahun ini, sekitar 90 orang tenggelam di Laut Mediterania saat mereka berupaya menyeberang ke Eropa. Banyak dari mereka tewas karena lambatnya operasi penyelamatan," kata IOM.
Tidak hanya itu, sekitar 19 pengungsi, yang di antaranya adalah anak-anak, tewas akibat kapal mereka karam di perairan Mediterania dalam tiga hari terakhir, IOM menambahkan. Sejauh ini, operasi penyelamatan hanya dilakukan oleh tim SAR Libya, yang mendapatkan pelatihan dan bantuan dana dari negara-negara anggota Uni Eropa.
Sementara itu dari kalangan nonpemerintah, Open Arms merupakan satu-satunya kapal milik NGO yang beroperasi di rute penyeberangan para pengungsi, khususnya di sekitar perairan Mediterania. Terkait masalah itu, IOM meminta otoritas di Libya segera merevisi kebijakan kawasan khusus pencarian dan penyelamatan.
"IOM meminta zona Pencarian dan Penyelamatan di Libya agar direvisi, sehingga memungkinkan badan-badan internasional turut serta melakukan operasi penyelamatan," kata IOM.
Baca juga:
Kerja sama antarlembaga dalam upaya penyelamatan menjadi poin penting yang disampaikan IOM, khususnya setelah badan PBB itu mencatat kenaikan jumlah pemberangkatan para pengungsi dari Libya ke negara-negara Eropa dalam beberapa bulan terakhir. Sejak Oktober 2020, IOM melaporkan bahwa 1.900 orang telah dihalau untuk lanjut berlayar dan dikembalikan ke Libya dan 780 pengungsi lainnya dilaporkan telah tiba di Italia.
Libya merupakan titik pemberangkatan utama para pengungsi dari negara-negara di Afrika ke Eropa, khususnya Malta, Italia, dan Yunani. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mendesak pemerintah Libya segera membuka akses dan mengizinkan badan-badan asing turut serta dalam operasi penyelamatan para pengungsi, khususnya saat mereka menghadapi masalah di tengah laut.
Permintaan itu disampaikan IOM, lembaga internasional yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, ketika menanggapi laporan 74 pengungsi yang tewas karena perahu mereka karam di tengah Laut Mediterania dekat pesisir Khums, Libya, Kamis, 12 November.