JAKARTA - Amnesty International menyampaikan laporan tentang pembunuhan brutal sejumlah besar warga sipil di wilayah Tigray, Ethiopia. Pembantaian terjadi di tengah pertempuran antara pemerintah lokal dan federal.
Laporan tersebut disampaikan pada Kamis, 12 November 2020. Pembunuhan dilaporkan terjadi di sebuah kota bernama Mai-Kadra pada Senin malam, 9 November.
Foto dan video yang diverifikasi secara digital dan memiliki lokasi geografis menunjukkan mayat berserakan di seluruh kota. Mayat-mayat itu dibawa dengan tandu.
"Kami telah mengonfirmasi pembantaian sejumlah besar warga sipil, yang tampaknya merupakan pekerja harian yang sama sekali tidak terlibat dalam serangan militer yang sedang berlangsung," kata Deprose Muchena, Direktur Amnesty International untuk Afrika Timur dan Selatan.
"Ini adalah tragedi mengerikan yang hanya waktu yang akan menjawabnya karena komunikasi di Tigray tetap ditutup," Muchena, dikutip situs resmi, Amnesty.org, Jumat, 13 November.
Para saksi di Mai-Kadra, yang memberi makanan dan persediaan lain mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka melihat mayat serta korban luka-luka. Luka parah korban tampaknya disebabkan senjata tajam. Amnesty International disebut tengah menugaskan seorang ahli patologi independen untuk mengkonfirmasi laporan tersebut.
"Mereka yang terluka mengatakan kepada saya bahwa mereka diserang dengan parang, kapak dan pisau. Anda juga dapat mengetahui dari lukanya bahwa mereka yang meninggal diserang oleh benda tajam," kata seorang saksi mata yang enggan menyebutkan namanya kepada Amnesty International.
Pemerintah federal Ethiopia menyatakan "perang" dengan partai yang berkuasa di kawasan itu, yaitu Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), awal bulan ini. Perdana Menteri (PM) Ethiopia dan peraih Nobel Abiy Ahmed telah memerintahkan Pasukan Pertahanan Ethiopia untuk memimpin "operasi penegakan hukum" di daerah itu.
Operasi yang dimaksud mencakup serangan udara. Meski demikian, hingga kini belum ada pihak independen yang menyatakan bertanggung jawab atas pembunuhan di Mai-Kadra atau jumlah korban tewas.
Mengutip CNN, Jumat, 13 November, ketegangan saat ini di Tigray dimulai pada Agustus, ketika pemerintah Abiy menunda pemilu karena risiko penularan COVID-19 terlalu tinggi. Pejabat di Tigray mengadakan pemilihan mereka sendiri pada September, dengan lebih dari dua juta orang memberikan suara.
Sebagai pembalasan, pemerintah federal menahan dana dari kepemimpinan TPLF di Mekelle, berjanji mengirimkannya langsung ke para pemimpin lokal sebagai gantinya. Hal ini memicu serangkaian tuduhan dan retorika balas dendam antara pemerintah regional dan federal yang terus berkembang.
Minggu lalu, pemerintah federal Ethiopia mengumumkan keadaan darurat enam bulan dan melancarkan kekuatan keamanan yang luas. Parlemen lalu memilih untuk mencabut kekebalan penuntutan bagi 39 anggota DPR, termasuk beberapa anggota TPLF berpangkat tinggi dan presiden regional Tigray Debretsion Gebremichael. TPLF menuduh pemerintah federal secara tidak adil membersihkan anggota partainya.
Sekitar 150 orang dari latar belakang "beragam etnis" juga ditahan di Addis Ababa dan berbagai bagian di negara itu. Penangkapan dilakukan atas tuduhan kolusi dengan TPLF untuk menghasut "konflik dan melakukan serangan teror," menurut pernyataan lain dari gugus tugas yang mengawasi konflik tersebut.
Krisis pengungsi
PM Ethiopia Abiy berkuasa pada 2018 dengan agenda reformis yang menjanjikan untuk menjembatani perpecahan antar-pemerintahan. Tetapi di bawah kepemimpinannya, ketegangan etnis dan politik meningkat secara signifikan di beberapa bagian negara, seringkali dengan konsekuensi yang mematikan.
Pada Selasa, 10 November, penyiar yang berafiliasi dengan negara Fana TV melaporkan bahwa tentara federal Ethiopia telah membunuh 550 pejuang musuh. Meski demikian identitas dan afiliasi para tersangka pejuang tersebut tidak jelas.
BACA JUGA:
Sejak eskalasi pertempuran antara pemerintah dan pasukan regional di Tigray, setidaknya 11.000 orang telah meninggalkan wilayah itu dan memasuki negara tetangga Sudan, menurut badan pengungsi PBB, UNCHR.
Saat konferensi pers pada Kamis 12 November, perwakilan UNCHR di Sudan, Axel Bisschop, mengatakan bahwa badan tersebut memperkirakan setengah dari pengungsi adalah anak-anak.Menurut Bisschop, orang Etiopia menyeberangi sungai ke Sudan menggunakan beberapa perahu di salah satu dari dua penyeberangan perbatasan.
"Orang-orang yang datang datang dengan sedikit konsesi, kebanyakan dari mereka datang dalam kondisi sehat, kami mendapat informasi dari beberapa yang terluka dan telah dibawa ke klinik terdekat untuk dirawat," kata Bisschop.