Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung: Perlu Segera Dievaluasi dan Dikebut Penggarapannya Agar Tak Mangkrak
JAKARTA - Presiden baru Filipina Ferdinand Marcos Jr membatalkan kesepakatan pembangunan proyek infrastruktur kereta senilai US$4,9 miliar dengan China yang telah dinegosiasikan pendahulunya, Rodrigo Duterte.
Sebab, China tak kunjung menepati janjinya memberikan kucuran dana terhadap tiga proyek: Proyek Kereta Api Subic-Clark yang dikelola China Harbour Engineering Co, Proyek Jarak Jauh Selatan Kereta api Nasional Filipina yang dikelola perusahaan patungan China Railway Group Ltd, China Railway No. 3 Engineering Group Co. Ltd, dan China Railway Engineering Consulting Group Co. Ltd.
Proyek ketiga adalah Davao Digos dari Kereta Api Mindanao yang gagal dilanjutkan setelah China tidak dapat mengirimkan daftar pendek kontraktor untuk kontrak desain bangunnya.
“Kesepakatan itu (dengan China) ditarik,” kata Pejabat Kementerian Transportasi Filipina, Cesar Chavez dilansir dari dailymail pada 16 Juli 2022.
Selanjutnya, Filipina belum memastikan masa depan tiga proyek kereta api tersebut. Apakah akan bernegosiasi ulang dengan China, mencari investor negara lain, atau beralih ke modal swasta? Sejumlah pihak juga ragu, apakah China akan memberi tingkat bunga yang lebih rendah untuk pembangunan kereta api.
Bagaimana dengan Indonesia?
Proyek kerjasama pembangunan infrastruktur kereta cepat Jakarta Bandung juga mengalami banyak kendala. Belum genap dua tahun terhitung sejak 2020, proyek sudah mengalami cost overrun dari Rp86,67 triliun menjadi Rp114,24 triliun.
Melansir dari tempo.co, penyebab utama adalah konstruksi atau EPC dan pembebasan lahan. Pembebasan lahan untuk proyek sepur cepat sulit karena jalur yang dilalui sangat luas dan melewati daerah komersial.
Juga, karena biaya pendanaan atau financing cost. Keterlambatan proyek menyebabkan beban keuangan berupa bunga selama konstruksi membengkak. Biaya head office dan praoperasi pun melar.
“Misal pengadaan lahan, memakan cukup banyak waktu hingga membuat harga tanah yang dibebaskan turut naik. Lalu, soal geologis, pandemi COVID-19, penggunaan frekuensi GSM-R, dan instalasi listrik ” kata GM Corporate Secretary PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Rahadian Ratry pada April 2022.
China Development Bank (CBD) bahkan meminta Pemerintah Indonesia ikut menanggung cost overrun tersebut. Padahal, kesepakatan awal, China bersedia menanggung 75 persen pembiayaan. Anggaran tersebut akan dikucurkan oleh lembaga finansial China. Sementara 25 persen sisa pembiayaan akan dibebankan kepada perusahaan patungan antara China Railway Corporation dengan mitra lokal di Indonesia.
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) merupakan pemilik proyek kereta cepat Jakarta Bandung. Perusahaan patungan antara konsorsium Badan Usaha Milik Negara Indonesia (BUMN) melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd, dengan bisnis utama di sektor transportasi publik dengan skema business to business (B2B).
Audit Ulang
Anggota Komisi VI DPR dari Partai Demokrat, Herman Khaeron sempat geram dan meminta pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap proyek tersebut, karena ada indikasi perubahan perjanjian di tengah jalan.
“Mestinya dari awal kalau perjanjian skema business to business, ya harus dijalankan, kok di tengah jalan tiba-tiba ada perubahan. Apakah karena salah hitung atau karena perencanaan yang terlampau optimistik, atau apa?,” tutur Herman dilansir dari bbc.com pada Oktober 2021.
Terlebih, saat ini, pemerintah sudah menyanggupi penggunaan APBN dalam pembiayaan kereta cepat Jakarta Bandung lewat Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang menyebut, pembiayaan dari APBN dilakukan dengan Penyertaan Modal Negara kepada pimpinan konsorsium dan penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium.
"Awalnya disepakati PTPN mereka menyiapkan lahan. Sekarang mereka (China) enggak mau dengan sistem itu. China maunya konsorsium perusahaan Indonesia menyetorkan modal. Harus diaudit terlebih dahulu skema perjanjiannya seperti apa dan lainnya. Semua penggunaan keuangan negara ada mekanismenya," tambah Herman.
Pengamat tata kota, Nirwono Yoga pun tidak sepakat bila pendanaan proyek kereta cepat Jakarta Bandung pada akhirnya harus membebani APBN. Toh, awalnya, Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan bahwa proyek tersebut tidak akan menggunakan uang rakyat.
Ada baiknya menggunakan pendanaan dari pihak swasta dalam dan luar negeri. Pemerintah harus mampu meyakinkan pihak investor akan kepastian dukungan dan kemudahan dari pemerintah.
“Sekarang sudah kepalang tanggung, proyek kereta cepat Jakarta Bandung dengan terpaksa tetap harus berjalan. Melihat progress di lapangan tidak mungkin dibatalkan karena akan menjadi mangkrak dan lebih merugikan negara lebih banyak lagi,” katanya kepada VOI, Kamis (28/7).
Namun harus segera dievaluasi progress-nya, mencari solusi dan mempercepat penyelesaian, serta menyiapkan rencana pengelolaan yang mendatangkan keuntungan ke depan untuk menutup kerugian yg telah dialami saat ini.
“Kalau bisa selesai 2024, itu lebih baik sebelum berganti pemerintahan baru. Jika tidak, kemungkinan bisa mangkrak karena kemungkinan pemerintah selanjutnya belum tentu mau melanjutkan. Ini yang harus diwaspadai bersama,” sambung Nirwono Yoga.
Secara umum, efektivitas kereta cepat Jakarta Bandung masih diragukan. Sebab, sudah tersedia alternatif lain. Masyarakat bisa lewat Tol Cipularang, bisa naik pesawat ke Bandara Husein Sastranegara, atau bisa naik kereta api biasa.
Baca juga:
“Memang jarak tempuh kereta cepat bisa cepat, tapi jarak tempuh ke stasiunnya bagaimana. Misal, warga Jakarta mau ke stasiun harus macet-macetan dulu. Tapi ya bisa saja kereta cepat lebih diminati kalau harganya make sense,” sambungnya.
Dalam studi awal kelayakan China, kereta cepat Jakarta Bandung direncanakan melewati delapan stasiun, dengan tiga di antaranya berada di Jakarta, yaitu Gambir di Jakarta Pusat, Manggarai di Jakarta Selatan, dan Halim di Jakarta Timur dengan total panjang rel 150 km.
Namun melansir dari situs KCIC, kereta cepat Jakarta Bandung memiliki panjang trase 142,3 km yang terbentang dari Jakarta hingga Bandung. Melewati empat stasiun pemberhentian Halim, Karawang, Padalarang, Tegalluar dengan satu depo yang berlokasi di Tegalluar. Setiap stasiun akan terintegrasi dengan moda transportasi massal di setiap wilayah.