Mengingat Peristiwa 27 Juli 1996, Kudatuli: Keseriusan PDIP Dipertanyakan
JAKARTA - Sejumlah simpatisan dan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar prosesi tabur bunga di kantor DPP PDI-P, Jl. Diponegoro 58, Jakarta Pusat, Rabu (27/7). Ini untuk mengenang peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli. Tragedi kelam yang terjadi 26 tahun lalu, ketika markas PDIP diserbu sejumlah orang hingga mengakibatkan banyak korban jiwa.
Laporan Komnas HAM menyebut lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang dalam peristiwa yang sering disebut Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli.
Hingga kini, kasus seolah dibiarkan mengambang. Titik ada titik terang meski PDI-P telah menjadi partai berkuasa. Padahal, Komnas HAM sempat menyatakan telah terjadi sejumlah pelanggaran HAM dalam kasus Kudatuli.
Seperti, pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
“Kita sekarang masuk tahun ke-26 memperingati Kudatuli. DPP PDI Perjuangan menginginkan terus usut kasus ini. Kita juga sudah ke Komnas HAM. Kita minta jangan hanya bawahan pelaksana saja yang ditangkap, tetapi aktor intelektualnya, apa pun pangkatnya. Mereka semua masih berkeliaran tanpa proses hukum,” kata Ketua DPP PDI-P Ribka Tjiptaning dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/7).
Penyidik kasus 27 Juli 1996 hanya berhasil menetapkan puluhan tersangka dari unsur TNI-Polri dan unsur sipil, tetapi gagal membawa kasus ini ke persidangan pengadilan pidana.
Sementara, 124 anggota relawan pendukung Megawati yang jadi korban penyerbuan sudah diproses hukum pada saat itu dan dipidana penjara oleh aparat penegak hukum.
Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus dalam wawancara dengan tempo.co pada 2019, menganggap kasus Kudatuli memang sengaja didiamkan. PDIP pun seolah tak bersungguh-sungguh mengungkap Kudatuli. Padahal, PDIP memiliki kekuasaan politik yang sangat memadai untuk menjawab dan memenuhi tuntutan rasa keadilan publik.
“Pada saat Megawati jadi presiden, tidak ada political will dari Pemerintahan Megawati menuntaskan kasus Kudatuli,” tuturnya.
Tengok Sutiyoso, ketika Kudatuli meletus, jabatannya adalah Pangdam Jaya. Dia disebut menjadi tersangka dalam kasus Kudatuli. Namun, realitasnya, Sutiyoso malah dirangkul PDIP menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, pada era Jokowi Sutiyoso pernah menjadi Kepala BIN.
“Sebenarnya ada apa? Kenapa PDIP enggan atau setengah hati menuntaskan Kudatuli?”
Tahun 2003, Letjen TNI (Purn) Soeyono, yang ketika itu Kasum ABRI memberi kesaksiannya dalam buku memoarnya berjudul ‘Bukan Putung Rokok’ seperti ditulis oleh Majalah Gatra edisi April 2003. Soeyono menyebut nama sejumlah jenderal yang diduga bertanggung jawab dalam kasus Kudatuli. Yakni, Jenderal R. Hartono (Kasad), Mayjen Syarwan Hamid (Kasospol), dan Mayjen Sutiyoso (Pangdam Jaya).
Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto sudah beberapa kali mendatangi Komnas HAM guna mendesak agar segera mendorong penyelidikan lanjutan perkara Kudatuli. Hasto pun sudah sempat berdialog dengan sejumlah institusi, termasuk Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
“Memang memerlukan waktu untuk mengupayakan. Perlu langkah-langkah konsolidasi dari seluruh aspek termasuk pembentukan tim internal. Tapi, yang pasti sikap politik kami tidak akan berubah, peristiwa 27 Juli tetap kami pandang sebagai bentuk pelanggaran HAM, itu harus diungkap secara tuntas, demikian pula kasus-kasus yang lain,” katanya.
Berawal dari Pertemuan Soerjadi dan Megawati
Soerjadi dan Megawati merupakan dua tokoh utama dalam perebutan tahta Partai Demokrasi Indonesia. Pada 1987, sebagai Ketua PDI, Soerjadi berhasil menggaet sejumlah nama beken masuk menjadi anggota partai berlambang banteng dalam segi lima itu. Satu di antaranya adalah Megawati Soekarnoputri.
Dengan harapan, nama-nama tersebut bisa mendulang perolehan suara partai karena pada dua Pemilu sebelumnya PDI selalu berada di urutan buncit.
"Tahun 1987, Megawati dan Guruh Soekarno berhasil dirayu Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI saat itu, untuk masuk PDI dan menjadi vote getter pada Pemilu 1987," tulis Sumarno dalam Megawati Soekarnoputri: Dari Ibu Rumah Tangga ke Panggung Politik (2002).
Apa yang dilakukan Soerjadi berhasil. Meski masih tetap urutan buncit, perolehan kursi PDI meningkat 10 persen atau menjadi 40 kursi DPR. Pada Pemilu berikutnya pada 1992, perolehan kembali meningkat sampai 56 kursi.
Pasca Pemilu 1992, mulai terjadi huru-hara di tubuh PDI. Pada 21 Juli 1993, PDI menggelar Kongres keempat di Medan dan memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Menkopolhukam Soesilo Sudarman pada Agustus 1993, menyatakan Kongres Medan tidak sah, alasannya antara lain karena ketua terpilih dituduh terlibat kasus penculikan kader. Dia meminta PDI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.
KLB Surabaya akhirnya digelar pada Desember 1993. Memilih antara Megawati atau Budi Hardjono yang menjadi Ketua Umum PDI. Kondisinya juga tidak jauh berbeda, lagi-lagi berujung deadlock. Padahal, tinggal selangkah lagi Megawati menjadi pemenang.
Tirto.id pada 27 Juli 2019 menulis, pada 6 Desember 1993, caretaker (Budi Hardjono) kabur tanpa menetapkan ketua umum PDI terpilih. “Di tengah situasi yang sengaja dibuat mengambang itu, Megawati tetap menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto.”
Dukungan terhadap Megawati disahkan saat Musyawarah Nasional di Kemang, Jakarta Selatan pada 22 Desember 1993.
Ternyata, Munas Kemang bukan akhir cerita. Sosok Megawati dinilai menjadi ancaman bagi penguasa. Satu tahun sebelum Pemilu 1997, berdasar laporan Ilmuwan politik Edward Aspinal dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), pemerintah lewat jajaran Departemen Dalam Negeri dan sejumlah perwira ABRI menekan PDI di tingkat daerah menandatangani persetujuan KLB lanjutan di Medan.
KLB mendapat restu dari Mendagri Yogie S. Memet dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung dengan dalih mengatasi krisis internal partai. Akhirnya, KLB Medan yang digelar pada 20-23 Juni 1996 menetapkan Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI.
Baca juga:
“Sebagian besar panitia KLB Medan adalah pengikut Soerjadi atau orang-orang yang dipaksa ikut Megawati oleh Hendropriyono dan perwira ABRI lain pada 1993 sebagai jaminan dukungan pemerintah. Sementara itu, di daerah, pengurus PDI tingkat kabupaten/kota loyal kepada Megawati. Banyak anggota PDI menyatakan ‘siap mati untuk Megawati’,” tulis Edward Aspinal.
Terjadi dualisme kepemimpinan. Megawati sebagai Ketum PDI versi Munas Jakarta 1993 dan Soerjadi sebagai Ketum versi KLB Medan 1996.
Kantor DPP PDI Diserang
Megawati dan para pendukungnya tidak pernah mengakui hasil KLB Medan. Itu sebabnya, dia tetap menduduki kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Bahkan, sebagai ganti bentuk protes, kubu pendukung Megawati menyelenggarakan Mimbar Demokrasi setiap hari di kantor. Diisi oleh para aktivis yang mengutuk intervensi pemerintah terhadap PDI. Tak jarang juga, kritikan semakin melebar hingga ke dwifungsi ABRI, dan hal-hal janggal lain semasa orde baru.
Kritikan tersebut semakin menguatkan penguasa untuk benar-benar ‘mengusir’ Megawati. Panglima ABRI Feisal Tanjung menyebut Mimbar Demokrasi sebagai ‘Lagu Lama PKI’.
Presiden Soeharto menyebut ada ‘setan gundul’ yang memperalat PDI untuk kepentingannya sendiri. Setan gundul sering diungkapkan rezim Orde Baru sebagai kata ganti PKI, merujuk kepada aliansi berbagai kelompok gerakan pro demokrasi di bawah payung Majelis Rakyat Indonesia.
Lalu, pada 27 Juli 1996, terjadilah penyerangan atau pengusiran paksa oleh pendukung Soerjadi terhadap pendukung Megawati yang masih menduduki kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Kedua kubu saling serang hingga mengakibatkan korban jiwa. Inilah yang kerap disebut sebagai peristiwa Kudatuli.
Akibat dari peristiwa tersebut, Megawati memutuskan golput pada Pemilu 1997.
“Saya menyatakan hari ini, hak politik saya sebagai warga negara tidak akan saya gunakan dalam Pemilu tanggal 29 Mei 1997,” ucap Megawati saat berpidato di hadapan pendukungnya pada 22 Mei 1997.