Kecam Eksekusi Mati Empat Aktivis Demokrasi, Sekjen PBB Desak Rezim Militer Myanmar Segera Bebaskan Aung San Suu Kyi hingga Presiden Win Myint
JAKARTA - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Antonio Guterres pada Senin, mengecam keras eksekusi empat aktivis demokrasi oleh militer yang berkuasa di Myanmar, kata seorang juru bicara PBB.
"Sekretaris Jenderal mengulangi seruannya untuk segera membebaskan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang, termasuk Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi," kata wakil juru bicara PBB Farhan Haq dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters 26 Juli.
Juru bicara itu menambahkan bahwa Sekjen PBB menentang hukuman mati "dalam segala keadaan."
Diberitakan sebelumnya, rezim militer Myanmar telah mengeksekusi empat aktivis demokrasi yang dituduh membantu melakukan aksi teror, menjadi eksekusi mati pertama di negara itu dalam beberapa dekade, kata media pemerintah pada Hari Senin.
Dihukum mati pada Januari dalam persidangan tertutup, keempat pria itu dituduh membantu milisi untuk memerangi tentara yang merebut kekuasaan dalam kudeta tahun lalu dan melancarkan tindakan keras berdarah terhadap lawan-lawannya.
Hukuman itu menuai kecaman internasional, dengan dua pakar PBB menyebut mereka sebagai "upaya keji untuk menanamkan rasa takut" di antara orang-orang.
Di antara mereka yang dieksekusi adalah tokoh demokrasi Kyaw Min Yu, lebih dikenal sebagai Jimmy, dan mantan anggota parlemen dan artis hip-hop Phyo Zeya Thaw, kata surat kabar Global New Light of Myanmar.
Kyaw Min Yu (53) dan Phyo Zeya Thaw, sekutu berusia 41 tahun dari pemimpin terguling Myanmar Aung San Suu Kyi, kalah banding terhadap hukuman pada Bulan Juni. Dua orang lainnya yang dieksekusi adalah Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw.
Keempatnya telah didakwa di bawah undang-undang kontra-terorisme dan hukum pidana dan hukuman dilakukan sesuai dengan prosedur penjara, kata surat kabar itu, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Eksekusi sebelumnya di Myanmar dilakukan dengan cara digantung.
Seorang juru bicara militer tidak segera menanggapi panggilan telepon untuk meminta komentar. Bulan lalu juru bicara militer Zaw Min Tun membela hukuman mati, dengan mengatakan hukuman itu digunakan di banyak negara.
Baca juga:
- Hancurkan 50 Gudang Amunisi Rusia dengan HIMARS dari AS, Menhan Ukraina: Potong Rantai Logistik dan Hilangkan Kemampuan Tempur Mereka
- FSB Sebut Rencana Ukraina Membajak Pesawat Angkatan Udara Rusia Didukung Intelijen Inggris
- Telak! China Sebut AS Perlu Memajukan Perdamaian di Ukraina, Bukan Melabeli Rusia Sebagai Negara Teroris
- Kunjungi Kawasan Indo-Pasifik, Kepala Staf Gabungan AS: Militer China Menjadi Lebih Agresif di Udara dan Laut, Nilai Indonesia Mitra Strategis
"Setidaknya 50 warga sipil tak berdosa, tidak termasuk pasukan keamanan, tewas karena mereka," katanya dalam konferensi pers yang disiarkan televisi.
"Bagaimana Anda bisa mengatakan ini bukan keadilan?" Dia bertanya. "Tindakan yang diperlukan diperlukan untuk dilakukan pada saat-saat yang diperlukan."
Diketahui, sebuah kelompok aktivis, Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), mengatakan eksekusi yudisial terakhir Myanmar terjadi pada akhir 1980-an.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus menyatukan situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.