Rezim Militer Myanmar Eksekusi Mati Empat Aktivisi Demokrasi Meski Dikritisi PBB hingga Amerika Serikat

JAKARTA - Rezim Myanmar telah mengeksekusi empat aktivis demokrasi yang dituduh membantu melakukan aksi teror, menjadi eksekusi mati pertama di negara itu dalam beberapa dekade, kata media pemerintah pada Hari Senin.

Dihukum mati pada Januari dalam persidangan tertutup, keempat pria itu dituduh membantu milisi untuk memerangi tentara yang merebut kekuasaan dalam kudeta tahun lalu dan melancarkan tindakan keras berdarah terhadap lawan-lawannya.

Hukuman itu menuai kecaman internasional, dengan dua pakar PBB menyebut mereka sebagai "upaya keji untuk menanamkan rasa takut" di antara orang-orang.

Di antara mereka yang dieksekusi adalah tokoh demokrasi Kyaw Min Yu, lebih dikenal sebagai Jimmy, dan mantan anggota parlemen dan artis hip-hop Phyo Zeya Thaw, kata surat kabar Global New Light of Myanmar, seperti melansir Reuters 25 Juli.

Kyaw Min Yu (53) dan Phyo Zeya Thaw, sekutu berusia 41 tahun dari pemimpin terguling Myanmar Aung San Suu Kyi, kalah banding terhadap hukuman pada Bulan Juni. Dua orang lainnya yang dieksekusi adalah Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw.

Keempatnya telah didakwa di bawah undang-undang kontra-terorisme dan hukum pidana dan hukuman dilakukan sesuai dengan prosedur penjara, kata surat kabar itu, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Eksekusi sebelumnya di Myanmar dilakukan dengan cara digantung.

Sebuah kelompok aktivis, Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), mengatakan eksekusi yudisial terakhir Myanmar terjadi pada akhir 1980-an.

Zaw Min Tun (kanan) bersama pejabat rezim militer Myanmar saat memberikan keterangan pers. (Wikimedia Commons/VOA Burmese)

Seorang juru bicara militer tidak segera menanggapi panggilan telepon untuk meminta komentar.

Bulan lalu juru bicara militer Zaw Min Tun membela hukuman mati, dengan mengatakan hukuman itu digunakan di banyak negara.

"Setidaknya 50 warga sipil tak berdosa, tidak termasuk pasukan keamanan, tewas karena mereka," katanya dalam konferensi pers yang disiarkan televisi.

"Bagaimana Anda bisa mengatakan ini bukan keadilan?" Dia bertanya. "Tindakan yang diperlukan diperlukan untuk dilakukan pada saat-saat yang diperlukan."

Terpisah, Thazin Nyunt Aung, istri Phyo Zeyar Thaw, mengatakan dia belum diberitahu tentang eksekusi suaminya. Kerabat lainnya tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta tahun lalu, dengan konflik menyebar secara nasional setelah tentara menghancurkan sebagian besar protes damai di kota-kota.

AAPP mengatakan lebih dari 2.100 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta, tetapi junta mengatakan angka itu dilebih-lebihkan.

Gambaran kekerasan yang sebenarnya sulit untuk dinilai karena bentrokan telah menyebar ke daerah yang lebih terpencil di mana kelompok pemberontak etnis minoritas juga memerangi militer.

Eksekusi terbaru menutup peluang untuk mengakhiri kerusuhan, kata analis Myanmar Richard Horsey, dari kelompok International CRISIS.

"Setiap kemungkinan dialog untuk mengakhiri krisis yang diciptakan oleh kudeta kini telah dihapus," jelas Horsey kepada Reuters.

"Ini adalah rezim yang menunjukkan bahwa ia akan melakukan apa yang diinginkannya dan tidak mendengarkan siapa pun. Ia melihat ini sebagai demonstrasi kekuatan, tetapi ini mungkin salah perhitungan yang serius," paparnya.

Diberitakan sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Prancis, Amerika Serikat (AS) dan kelompok hak asasi manusia internasional telah mendesak junta untuk tidak menindaklanjuti eksekusi aktivis Kyaw Min Yu dan mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw, yang kalah banding atas tuduhan terorisme.

Terkait hal tersbeut, Nicholas Koumjian, kepala Mekanisme Investigasi Independen PBB untuk Myanmar mengatakan, dia mengikuti kasus ini dengan cermat.

"Informasi yang tersedia sangat menunjukkan bahwa di bawah hukum internasional, hak-hak dasar orang-orang yang dihukum secara terang-terangan dilanggar dalam proses ini," kata Koumjian tentang persidangan yang tertutup untuk umum, melansir CNA.

"Menjatuhkan hukuman mati, atau bahkan masa penahanan, berdasarkan proses yang tidak memenuhi persyaratan dasar pengadilan yang adil dapat merupakan satu atau lebih kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang," tambahnya.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus menyatukan situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.