Firli Bahuri Lihai Bikin Nasi Goreng, Tapi Kenapa Lama Cari Harun Masiku
JAKARTA - Tangannya terampil mengaduk nasi yang ada di penggorengan dengan sutil besi. Tak lama kemudian, nasi goreng itu matang. Nasi goreng buatan Firli Bahuri disajikan dalam acara 'Silaturahmi Pimpinan KPK, Dewan Pengawas, Pejabat Struktural dengan Awak Media Liput di KPK'.
Firli pun tampil berbeda saat memasak, bak koki profesional, dia menggunakan celemek lengkap dengan topi koki. Sesekali dia tersenyum pada kamera, ketika aksi memasaknya itu menyedot perhatian pewarta yang hadir.
"Malam hari ini kita menikmati nasi goreng by Chef Firli, yang lain silakan menikmati dan saya akan masak," katanya dalam sambutan sebelum mulai beraksi memasak nasi goreng di Gedung Penunjang KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin, 20 Januari.
Usai masakannya matang, Firli kemudian membagikannya kepada sejumlah pejabat di KPK, termasuk dewan pengawas. Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan yang mendapat piring pertama, ketika nasi goreng itu matang.
Acara berjalan santai, Firli sesekali menyapa pewarta dan mengajak berbincang. Kepada wartawan pimpinan dari Korps Bhayangkara itu menyebut, nasi gorengnya sudah terkenal. Bahkan ketika dia menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan, nasi goreng itu kondang karena kenikmatannya.
Firli memang boleh saja jago memasak nasi goreng. Namun, dalam hal mencari buronan kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024, yaitu Harun Masiku, kemampuannya masih diragukan. Apalagi, hingga saat ini lembaga yang dipimpinnya masih terus mencari keberadaan caleg dari PDI Perjuangan tersebut.
"Salah satu tersangka korupsi masih sampai hari ini belum ketemu dan terus kita lakukan pencarian terhadap HM (Harun Masiku)," ungkapnya setelah acara.
Dia juga menyebut, saat ini KPK sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian agar membantu penangkapan buronan tersebut, termasuk untuk memasukkan nama Harun ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Baca juga:
"Sudah, sudah (masuk ke dalam DPO). Belum lama, saya enggak tahu persis tapi sudah, yang penting sudah (masuk)," jelas Firli sambil menambahkan bakal melakukan penelusuran sejumlah informasi yang beredar jika Harun saat ini berada di Sulawesi Selatan.
Diketahui, Harun memang disebut pihak Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigarasi Kemenkumham telah meninggalkan Indonesia dan berada di Singapura sejak 6 Januari melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Hanya saja, belakangan Harun diisukan telah kembali ke Indonesia sehari setelahnya atau pada 7 Januari yang lalu melalui bandara yang sama dan walau ada sejumlah bukti seperti CCTV dari Bandara Soekarno-Hatta, pihak imigrasi tetap membantah jika Harun telah kembali ke Indonesia.
Namun semua informasi itu, menurut Firli akan ditampung terlebih dahulu dan nantinya, dia akan meminta penyidik segera melakukan pencarian terhadap pelaku penyuap komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Ada Hukuman Mengintai Buat Mereka yang Sembunyikan Harun
Sementara Plt. Juru Bicara KPK bagian penindakan Ali Fikri tetap menyebut jika Harun saat ini masih berada di luar negeri seperti pernyataan pihak imigrasi. Hanya saja, sama seperti Firli, dia menyebut, berbagai informasi yang mengatakan caleg PDIP dari Dapil Sulawesi Selatan I sudah berada di Indonesia bakal ditelisik lebih jauh lagi oleh penyidik.
Dia juga mengimbau siapapun yang mengetahui keberadaan Harun dapat segera melaporkan ke KPK. "Ini bentuk persuasif dan juga kita melakukan tindakan permintaan penangkapan kepada Polri untuk mengejar yang bersangkutan," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Fikri juga sempat bicara soal Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut dia, pasal ini mungkin saja dikenakan bagi mereka yang membantu Harun atau dalam hal ini berarti menghalangi proses pengusutan kasus korupsi.
"Sangat memungkinkan (diterapkan Pasal 21) bagi siapapun di dalam proses penyidikan dan penuntutan yang menghalangi kerja-kerja dari penyidikan maupun penuntutan. Tetapi perlu dikaji lebih lanjut dan jauh terkait dengan itu," ungkap jaksa penuntut umum (JPU) KPK ini.
Kajian tersebut, menurut Ali, perlu dilakukan untuk memastikan ada pihak yang menghalangi proses penyidikan. "Termasuk juga nanti ke depan kalau nanti penuntutan terjadi, ya, kita bisa terapkan Pasal 21. Tetapi sejauh ini belum masuk ke sana," tegasnya.
Selain bicara soal pasal yang mengatur soal obstruction of justice atau tindak menghalangi pengusutan kasus, Fikri juga mengatakan, jika Harun tak kooperatif dalam kasus ini bukan tak mungkin hukumannya diperberat saat proses persidangan nanti. Sebab, sikap kooperatif atau tidaknya tersangka akan menjadi salah satu pertimbangan.
"Tentunya siapapun yang tidak kooperatif akan dipertimbangkan menjadi alasan yang memberatkan,"
Diberitakan sebelumnya, KPK telah menetapkan eks komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerima suap terkait penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024. Dia ditetapkan sebagai penerima suap, bersama Agustiani Tio Fridelina (ATF) yang merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang merupakan orang kepercayaannya.
Adapun pemberi suap adalah Harun Masiku (HAR) yang merupakan caleg dari PDI Perjuangan di Pileg 2019 dan Saeful yang disebut pihak swasta namun diduga menjadi salah satu staf petinggi partai tersebut.
Dalam kasus ini, Wahyu disebut meminta uang operasional sebesar Rp900 juta untuk mengubah hasil pleno KPU terkait PAW anggota DPR RI untuk menggantikan Nazarudin Kiemas yang merupakan caleg PDIP dari Dapil Sumatera Selatan I yang meninggal dunia.