Eduard Douwes Dekker: Belanda Pengganggu Kolonialisme di Nusantara

JAKARTA - Eduard Douwes Dekker alias Multatuli adalah tokoh besar bagi bangsa Indonesia. Karya fenomenalnya, Max Havelaar (1860) begitu menginspirasi banyak orang. Saking populernya, R.A Kartini, Pramoedya Ananta Toer, hingga Soekarno memandang Eduard sebagai martir perjuangan. Eduard tak hanya seorang humanis yang memperjuangkan keadilan bagi kaum bumiputra. Eduard juga sosok yang layak dikenang karena keberaniannya melawan kolonialisme di Hindia-Belanda.

Eduard terlahir sebagai anak nakhoda kapal dagang berpenghasilan cukup. Eduard lahir di Amsterdam, Belanda, pada 2 Maret 1820. Atas pekerjaan ayahnya, Eduard dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Sayang, Edward tak sempat menamatkan pendidikannya.

Sifatnya yang cepat bosan membuat semangat belajar dan sederet prestasinya di perguruan tinggi menurun. Sang ayah kemudian mengeluarkan Eduard dari sekolah. Setelahnya, Eduard ditempatkan oleh ayahnya di sebuah kantor dagang.

Di situlah petualangan Eduard dengan dunia kerja mulai terasah. Singkat cerita, Eduard yang kala itu masih berusia 18 tahun diajak oleh ayahnya berlayar ke Hindia-Belanda menggunakan kapal Dorothe. Kapal itu berlabuh di Batavia pada 4 Januari 1839. Di Tanah Harapan, Eduard bekerja sebagai juru tulis di Algemen Rekenkamer (Dewan Pengawas Keuangan Negara).

Berkat kerja kerasnya, pangkat Eduard kemudiaan naik menjadi komisi kelas II. Bersamaan dengan itu, Eduard menikmati berbagai penugasan sebagai amtenar –pegawai pemerintah-- baik itu ke Sumatera Barat, Karawang, Bagelen, Manado, dan Ambon.

Dikutip Bonnie Triyana dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Madu dan Racun di Rangkasbitung (2010), Eduard mendapat bantuan dari E. de Wall, rekan istrinya, Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen. Dengan lobi khusus dari E. de Wall --yang kelak menjadi Menteri Daerah Jajahan-- kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist, Eduard diangkat menjadi asisten residen di Rangkasbitung, Lebak pada Januari 1856.

“Penugasan ke Rangkasbitung adalah pengalaman baru bagi Dekker. Lebak, seperti beberapa daerah di Banten lainnya, adalah daerah minus yang menjadi ladang subur bagi tumbuhnya pemberontakan. Paling tidak ada dua pemberontakan besar yang terjadi pada abad ke-19: pemberontakan Haji Wakhia (1850) dan pemberontakan petani Banten (1888),” tulis Bonnie.

Eduard menunjukkan keramahannya kepada Bupati Lebak Raden Adipati Kartanata Negara. Tak ada tanda-tanda keduanya bermusuhan. Eduard bahkan beberapa kali menawarkan bantuan uang kepada Sang Bupati. Multatuli paham benar Bupati nyatanya menanggung hidup banyak orang di luar keluarga inti. Puncak dari hubungan keduanya terlihat dari sepucuk surat yang tak sempat dikirim kepada Gubernur Jenderal. Kata Eduard: Bupati adalah orang yang sangat menyenangkan.

Sekalipun tampak beberapa gelagat tak baik dari cara Raden Adipati Kartanata Negara memerintah, Eduard tak langsung menyikapi dengan konfrontasi. Eduard justru mengajak Sang Bupati bicara dari hati ke hati. Patih Lebak bahkan menggambarkan hubungan keduanya baik. Patih Lebak menyebut Multatuli sebagai satu-satunya pejabat Belanda yang bicara halus dan ramah.

Namun hubungan baik itu harus berakhir. Realita demi realita memperlihatkan bagaimana pengusaha lokal memeras rakyatnya. Pejabat Belanda seakan menutup mata akan penderitaan kaum bumiputra. Multatuli tergugah. Kondisi itu diperparah ketika Multatuli mendengar laporan janda C.E.P. Carolus (mantan asisten Residen Lebak) tentang kematian suaminya yang tak wajar dan terindikasi diracun otoritas setempat.

Multatuli bereaksi. Ia kemudian menulis surat pengaduan kepada Residen Banten Brest van Kempen di Serang. Sebagaimana diungkap Moechtar, dalam buku Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Kebenaran dan Keadilan (2005), dkisahkan bagaimana Eduard mengusulkan agar Nata Negara diadili. Menantu Bupati Lebak juga diusulkan ditahan atas kematian tak wajar tersebut.

Upayanya sia-sia. Residen Banten Van Kempen tampak tak tertarik dengan kasus yang dilaporkan Eduard. Konon, Van Kempen cukup memiliki banyak skandal di Banten yang membuatnya tak bisa bergerak lebih leluasa. Maka, Van Kempen memilih untuk mencari aman.

Karena dianggap 'terlalu berisik', Multatuli kemudian dimutasi ke Ngawi, Jawa Timur. Namun, ia menolak pemindahan dan berhenti. Tepat pada 4 April 1856 permohonannya pensiun dini dikabulkan. Di tahun 1858, ketika berada di Brussel, Belgia, Multatuli mulai menyusun kisah yang ia temui di Nusantara. Setahun kemudian, kisah itu diterbitkan sebagai buku berjudul Max Havelaar yang terbit 1960.

Gangguan kolonialisme

Segala pengalaman dan pengamatan soal berbagai hal, termasuk penyelewengan yang Eduard temui, ia tuangkan ke dalam buku Max Havelaar. Isi buku tersebut tak jauh dari kritik keras terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Max Havelaar juga mencela diberlakukannya sistem tanam paksa di Nusantara. Sebagai bentuk totalitas, identitasnya sebagai Eduard Douwes Dekker kemudian diubah menjadi Multatuli.

“Secara Harfiah mengandung arti: aku menderita. Pada awalnya buku tersebut sangat menyinggung penguasa Belanda karena berisi kritik atas perlakuan buruk pemerintah Hindia-Belanda terhadap bumiputra. Bahkan, mereka menganggap opini Multatuli ini sangat berlebihan. Namun buku ini laku keras di pasaran Eropa,” ungkap Joko Darmawan dalam buku Sejarah Nasional: Ketika Nusantara Berbicara (2017).

Bersamaan dengan itu, Max Havelaar menjadi pendobrak tembok kolonialisme. Jutaan mata kaum Eropa yang menghendaki kebebasan tertuju kepada Hindia-Belanda. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung untuk menghapus sistem tanam paksa. Hal itu diungkap pula oleh Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (2014).

Menurut Jan, Eduard menjadi seorang yang berani memaparkan kebohongan dari rangkaian pemberitaan serba baik dari pejabat Kompeni ke markas pusat. Bagi Eduard, itu hanya sebentuk optimisme palsu yang dilaporkan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda kepada penguasa di negeri Belanda.

“Dan apa yang harus diperbuat Gubernur-Jenderal jika ada orang menulis surat padanya memberitakan bahwa orang Jawa dianiaya di sana-sini? Jawabannya sudah jelas. Gubernur Jenderal seperti itu tidak perlu membaca surat tersebut, karena telah jelas, bahwa korespondensi semacam itu akan mengganggu dirinya dalam menjalankan kewajibannya: melindungi rakyat Jawa. Dan bagaimana jika penulis surat keluhan tidak sepatutnya itu tetap menulis? Maka Gubernur Jenderal harus mengungkapkan ketidaksenangannya, dan memaksanya agar mengajukan pengunduran diri. Lihatlah, itu sistem kita, Tuan-tuan,” tulis Multatuli dikutip oleh Jan Breman.

Oleh sebab itu, gaung kebesaran Multatuli banyak menginspirasi tokoh-tokoh bangsa. Penyair W.S. Rendra adalah salah satunya. Menurut Bakdi Soemanto dalam buku Rendra: Ia Tak Pernah Pergi (2009), banyak di antara sajak Rendra menegaskan ada pengaruh dari Multatuli di dalamnya. Bakdi menyebut keduanya, sama-sama seperti “tokek” yang bersuara di mana-mana meski kita tidak senang.

“Bahkan penyuara nurani seperti Multatuli bisa saja dibunuh. Tetapi nurani itu sendiri tetap akan hidup, sebab setiap sejarah yang melahirkan ketidak-adilan, Ia pun melahirkan Multatuli-Multatuli lain dan baru,” ungkap Bakdi Soemanto.

Untuk itu, generasi kekinian dapat belajar bahwa sejarah tak hanya melahirkan cerita kelam masa lalu. Tetapi, sejarah juga melahirkan penyuara-penyuara nurani yang akan menjadi martir utama perubahan, seperti Eduard. Yang mana cepat atau lembat, waktu akan menjadi hakim paling adil dalam memperlihatkan ketidak-adilan yang disuarakan.

“Kita juga mengetahui betapa besar gaung roman Max Havelaar pada tahun 1960. Roman itu menentang politik pemerintahan kolonial yang yang melampaui batas, dan dalam sejarah kesusastraan tetap merupakan tonggak gemilang anti-kolonialisme sebelum konsepnya sendiri lahir,” pungkas Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1 (1996).