Resesi, Kemenkeu: Ekonomi Indonesia Bergantung pada Konsumsi Kelas Menengah Atas
JAKARTA - Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) disebut membuat kegiatan ekonomi bergeliat kembali. Bahkan, kelas menengah atas sudah mulai berani melakukan konsumsi dan traveling di masa pandemi COVID-19.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengharapkan, pelonggaran PSBB dapat membuat dampak multiplier effect. Kondisi ini diharapkan akan menjadi daya ungkit perkonomian dalam negeri.
"Kuncinya ada di kelas menengah atas ketika ekonomi sudah mulai dilonggarkan, PSBB dilonggarkan, ada aktivitas, diharapkan memang itu menciptakan dampak positif bagi upaya penciptaan lapangan kerja baru," katanya, dalam acara diskusi virtual bertajuk 'Efek Resesi di Tengah Pandemi', di Jakarta, Sabtu, 7 November.
Yustinus optimistis, dengan makin percaya dirinya kelompok menengah atas melakukan konsumsi, maka akan membuat kegiatan ekonomi bergerak lagi. Konsumsi kelompok ini dianggap sangat membantu pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
"Karena tidak mungkin mengandalkan stimulus pemerintah saja untuk menopang setiap sektor," tuturnya.
Baca juga:
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI Fraksi PKS Anis Byarwati mengatakan pemerintah mestinya tidak hanya menjaga konsumsi masyarakat, tetapi juga menjaga agar masyarakat tidak sampai kehilangan daya beli.
"Artinya, masyarakat yang terkena dampak paling parah dari pandemi ini, ini yang harus diperhatikan," tuturnya.
Di samping itu, kata Anis dunia usaha juga perlu diperhatikan. Sebab, lanjutnya, jika dunia usaha tidak bertahan, perusahaan akan melakukan efisiensi dan bahkan akan merumahkan karyawannya.
Anis mengatakan, dampak dilakukan efisiensi dari perusahaan, akan berdampak langsung kepada konsumsi masyarakat. Menurut dia, hal yang paling realistis ialah bagaimana pemerintah membantu masyarakat untuk bersiap menghadapi resesi selama pandemi, dan membantu masyarakat terdampak agar tidak kehilangan daya beli.
"Komisi XI sudah sering menyampaikan secara langsung kepada Menteri Keuangan tentang pentingnya pemerintah menjaga daya beli, karena sampai sekarang konsumsi masih menjadi faktor utama penopang ekonomi kita," tuturnya.
Untuk itu, kata Anis, agar dapat membantu konsumsi masyarakat yang sedang anjlok, konsumsi pemerintah mesti didorong agar memberikan dampak yang maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menjelaskan, hasil survei yang diadakan pada Oktober 2020 menyatakan saat ini tidak ada optimisme khususnya di masyarakat kelas bawah perihal konsumsi.
"Mereka beranggapan jual beli transaksi dan segala macamnya masih rendah," katanya.
Seperti diketahui, Indonesia resmi dinyatakan mengalami resesi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi terkontraksi dua kuartal berturut-turut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi minus 3,49 persen (yoy) pada kuartal III-2020 setelah sebelumnya, terkontraksi minus 5,32 persen (yoy) pada kuartal II-2020.
Salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia yang anjlok diyakini karena daya beli masih lemah. Data BPS menunjukkan, konsumsi rumah tangga masih terkontraksi minus 4,04 persen (yoy) pada kuartal III-2020.
Sementara, konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2020 juga sempat menyentuh di level minus 5,52 persen (yoy). Meski demikian, konsumsi rumah tangga kuartal III-2020 dinyatakan lebih baik dari kuartal sebelumnya, yakni tumbuh 4,70 persen (qtq).