PTUN Nyatakan Jaksa Agung Melawan Hukum Sebut Peristiwa Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat

JAKARTA - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin kalah dalam gugatan di pengadilan. Jaksa Agung disebut melawan hukum karena menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan perlanggaran HAM berat.

Hal ini termaktub dalam putusan gugatan yang dilayangkan oleh Sumarsih, ibu dari salah satu korban tragedi 1998. Sumarsih sebagai penggugat dan Jaksa Agung sebagai tergugat. Artinya, PTUN Jakarta memenangkan gugatan Sumarsih.

"Mengadili, menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima. Pokok perkara, mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Andi Muh Ali Rahman, yang dilihat dalam situs resmi Direktori Putusan MA, Rabu, 4 November.

Hakim PTUN menyatakan ucapan Burhanuddin dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Selain itu, juga mewajibkan Jaksa Agung membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II sesuai keadaan yang sebenarnya. Selain itu hakim juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000.

"Mewajibkan tergugat untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya," tulisnya.

Sebagai informasi, dalam rapat kerja DPR Januari lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebutkan kasus penembakan mahasiswa yang terkenal dengan persitiwa Semanggi I dan II 1998 bukan pelanggaran HAM berat. 

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.

Namun Burhanuddin tak menjelaskan lebih lanjut kapan rapat paripurna DPR yang dia maksud digelar. Alasan belum selesainya penanganan HAM berat karena tidak lengkapnya berkas yang disusun oleh penyelidik Komnas HAM.

"Adapun penyebabnya tidak lengkapnya berkas tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan tidak cukup bukti hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," paparnya.