Jaksa Agung Burhanuddin Tak Terima Peristiwa Semanggi Pelanggaran HAM: Kami Harus Banding
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal mengajukan banding terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menyatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin telah melawan hukum karena menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan perlanggaran HAM berat.

Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung Ferry Wibisono mengatakan, berkas pengajuan banding sudah dipersiapkan dan saat ini masuk tahap penyelesaian.

"Kami 14 hari harus mengajukan keberatan ini. Kita sudah finalisasi dan tinggal merapikan saja dan atas memori banding itu dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu akan dikirimkan ke pengadilan tinggi tata usaha negara," ujar Ferry kepada wartawan, Kamis, 5 November.

Ferry bilang, keputusan mengajukan banding karena Kejagung menilai hakim PTUN melakukan kekeliruan. Satu di antaranya soal tak ada peraturan yang dilanggar oleh Jaksa Agung

"Peraturan mana yang dilanggar dalam substansi tersebut. Tetapi hakim tidak menunjukkan pasal mana yang dilanggar dalam putusan itu karena memang tidak ada peraturan yang dilanggar," kata dia.

"Jadi hakim memformulasikan berdasarkan keyakinan saja tanpa alat bukti yang memadai dan kemudian lalai dalam menjalankan kewajibannya dan membuat pertimbangan yang tidak benar terkait perbuatan hukum mana yang dilanggar Jaksa Agung," sambungnya.

Bahkan, Ferry juga menyinggung pihak penggugat yang dinilai tidak memenuhi syarat kepentingan dalam mengajukan gugatan ke PTUN. Sebab, orang tua korban selaku penggugat tak memiliki kepentingan untuk menjawab pernyataan Jaksa Agung di Rapat Kerja DPR RI.

"Kepentingan penggugat (orang tua korban) adalah pada penanganan perkara HAM berat. Bukan pada proses jawab menjawab pada rapat kerja DPR RI," kata dia.

Sebelumnya, Ferry juga menyebut kekeliruan yang dilakukan majelis hakim PTUN perihal pernyataan Jaksa Agung yang dianggap sebagai tindakan kongkrit pemerintah.

Padahal, pernyataan itu hanyalah merupakan penyampaian informasi pada saat rapat kerja bersama anggota komisi III DPR RI.

"Ucapan Jaksa Agung dalam rapat komisi III adalah pemberian informasi, bukan suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan," ujar Ferry kepada wartawan, Kamis, 5 November.

Terlebih jika merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 2 pasal 1 angka 1 tahun 2019 tentang administrasi pemerintahan, pernyataan Jaksa Agung bukanlah perbuatan kongkret.

Seharusnya, pelanggaran terjadi jika Jaksa Agung melakukan tindakan yang berkaitan dengan penangann perkara, memproses penanganan perkara, tahapan termasuk P19 atau P21 berkas perkara.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin kalah dalam gugatan di pengadilan. Jaksa Agung disebut melawan hukum karena menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan perlanggaran HAM berat.

Hal ini termaksud dalam putusan gugatan yang dilayangkan oleh Sumarsih, ibu dari salah satu korban tragedi 1998. Sumarsih sebagai penggugat dan Jaksa Agung sebagai tergugat. Artinya, PTUN Jakarta memenangkan gugatan Sumarsih.

"Mengadili, menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima. Pokok perkara, mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Andi Muh Ali Rahman, yang dilihat dalam situs resmi Direktori Putusan MA, Rabu, 4 November.

Hakim PTUN menyatakan ucapan Burhanuddin dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Selain itu, juga mewajibkan Jaksa Agung membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II sesuai keadaan yang sebenarnya. Selain itu hakim juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000.

Persoalan ini bermula ketika ST Burhanuddin melangsungkan rapat kerja DPR Januari lalu. Dalam rapat itu dia menyebutkan kasus penembakan mahasiswa yang terkenal dengan persitiwa Semanggi I dan II 1998 bukan pelanggaran HAM berat. 

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.

Namun Burhanuddin tak menjelaskan lebih lanjut kapan rapat paripurna DPR yang dia maksud digelar. Alasan belum selesainya penanganan HAM berat karena tidak lengkapnya berkas yang disusun oleh penyelidik Komnas HAM.

"Adapun penyebabnya tidak lengkapnya berkas tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan tidak cukup bukti hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," paparnya.