Kejagung Klaim Objek Sengketa dan Ucapan Jaksa Agung Berbeda
Jaksa Agung ST Burhanuddin (DOK. ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengklaim pernyataan Jaksa Agung perihal peristiwa Semanggi I dan II saat rapat kerja bersama Komisi III DPR berbeda dengan objek sengketa dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Jaksa Agung Muda Perdata, Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung Ferry Wibisono mengatakan, pada objek perkara di PTUN penyataan Jaksa Agung tidaklah lengkap. Pernyataan yang dipersoalakan tidak sepenuhnya.

Pernyataan Jaksa Agung yang dipersoalkan yakni 'Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat'.

Sedangkan, kalimat Jaksa Agung sepenuhnya 'Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM'.

"Dalam video rekaman tidak ada penyampaian Jaksa Agung yang menyatakan, 'Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc berdasarkan rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM'," kata Ferry kepada wartawan, Kamis, 5 November.

Selian itu, Ferry menilai majelis hakim PTUN sudah mengabaikan dan tidak mempertimbangkan bukti rekaman tersebut. Sehingga, Jaksa Agung dianggap tidak melanggar asas kecermatan.

"PTUN Jakarta tidak melakukan penelitian bukti sebagaimana seharusnya sebelum memutuskan perkara. Atas tidak melakukan tindakan pemeriksaan seharusnya, maka kemudian kami melihat hakim PTUN Jakarta dengan persepsinya seakan-akan kalimat itu ada," kata dia.

Adapun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin kalah dalam gugatan di pengadilan. Jaksa Agung disebut melawan hukum karena menyebut peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan perlanggaran HAM berat.

Hal ini tercantum dalam putusan gugatan yang dilayangkan oleh Sumarsih, ibu dari salah satu korban tragedi 1998. Sumarsih sebagai penggugat dan Jaksa Agung sebagai tergugat. Artinya, PTUN Jakarta memenangkan gugatan Sumarsih.

"Mengadili, menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima. Pokok perkara, mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Andi Muh Ali Rahman, yang dilihat dalam situs resmi Direktori Putusan MA, Rabu, 4 November.

Hakim PTUN menyatakan ucapan Burhanuddin dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Selain itu, juga mewajibkan Jaksa Agung membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II sesuai keadaan yang sebenarnya. Selain itu hakim juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000.

Persoalan ini bermula ketika ST Burhanuddin melangsungkan rapat kerja DPR Januari lalu. Dalam rapat itu dia menyebutkan kasus penembakan mahasiswa yang terkenal dengan persitiwa Semanggi I dan II 1998 bukan pelanggaran HAM berat. 

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.

Namun Burhanuddin tak menjelaskan lebih lanjut kapan rapat paripurna DPR yang dia maksud digelar. Alasan belum selesainya penanganan HAM berat karena tidak lengkapnya berkas yang disusun oleh penyelidik Komnas HAM.

"Adapun penyebabnya tidak lengkapnya berkas tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan tidak cukup bukti hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," paparnya.