Jakpro Akui Pendapatan JIS Ketika Beroperasi Setidaknya Harus Rp220 Miliar Per Tahun

JAKARTA - BUMD PT Jakarta Propertindo (Jakpro) mengaku pihaknya sebagai pengelola Jakarta International Stadium (JIS) harus mencari pendapatan sebesar Rp220 miliar per tahun dari penggunaan stadion tersebut.

Hal ini diakui Direktur Utama PT Jakpro Widi Amanasto dalam rapat kerja bersama Komisi E DPRD DKI Jakarta.

"Setidaknya mesti cari Rp220 miliar per tahun, sekitar itu," kata Widi di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa, 28 Juni.

Widi menuturkan, pendapatan ini diperhitungkan dari akumulasi biaya yang akan dikeluarkan oleh Jakpro untuk mengelola keberlangsungan JIS.

Rinciannya, Jakpro membutuhkan biaya antara Rp50 miliar hingga Rp60 miliar untuk biaya pemeliharaan operasional, keamanan, mekanikal elektrikal, hingga asuransi bangunan.

Kemudian, ada biaya depresiasi atau akumulasi biaya yang dialokasikan untuk aset tetap yang akan menyusut selama suatu periode. Jakpro menghitung depresiasi JIS sebesar Rp150 miliar per tahun.

"Untuk JIS yang nilainya Rp4,5 triliun dibagi 30 tahun maka kita akan terkena (depresiasi) Rp150 miliar per tahun. Depresiasi ini dibukukan atau pencatatan saja," ujar Widi.

Selain itu, Jakpro juga harus mendulang pendapatan lebih selain menutupi biaya operasional dan depresiasi, perkiraan nominalnya sekitar Rp30 miliar per tahun. Sehingga, pendapatan JIS yang menjadi target Jakpro sebesar Rp220 miliar per tahun.

Dalam kesempatan itu, Direktur Pengelolaan Aset PT Jakpro Gunung Kartiko mengaku pendapatan Jakpro dari penyelenggaraan olahraga di stadion berstandar internasional tersebut tidak cukup untuk menutup biaya pengeluaran mereka.

Karena itu, JIS juga akan dijadikan sebagai sarana kegiatan hiburan seperti konser, acara politik, hingga MICE (meetings, incentive, convention, and exhibition).

"jadi memang dari awal konsep dibikin stadion ini memang untuk sepak bola dan entertain. Seperti sound system, kemudian smart stadium itu didesain untuk kualitas sportainment (sport and entertainment) juga," tutur Gunung.

"Memang, dari kajian awal, kalau hanya bola, enggak nutupin (kebutuhan biaya pengeluaran). Sampai kapan pun tidak bakal tutup," lanjut Gunung.