Kejagung Salahkan Produsen Top Cleaner Meski Sudah 2 Tahun Menggunakan

JAKARTA -  Kejaksaan Agung (Kejagung) menyalahkan produsen top cleaner (sebelumnya ditulis dust cleaner) yang tetap menjualnya meski tak memiliki izin edar terkait dengan kebakaran gedung utama. Padahal, pihak Kejagung sudah menggunakannya selama dua tahun terakhir. 

"Tentu itu tersendiri permasalah tersendiri, kenapa itu juga masih dijual tentu nanti akan, yang jual juga siapa, produksinya siapa yang seharusnya sudah dilarang," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono kepada wartawan, Senin, 26 Oktober.

Hari tidak menjelaskan soal bentuk pengawasan internal dalam penggunaan cairan pembersih ilegal tersebut. Dia hanya menyebut pihaknya menunggung hasil penyidikan selanjutnya.

"Nanti hasil penyidikannya seperti apa lah ya," katanya.

Hari menegaskan Kejagung mendukung semua proses penyidikan yang dilakukan Bareskrim Polri. Sehingga, ditemukan titik terang perihal tersebut.

"Tetapi kemarin penyidik sudah menyampaikan ada unsur kealpaan di situ," kata dia.

Bareskrim Polri sebelumnya mengungkap, cairan pembersih dust cleaner yang dipakai oleh Kejaksaan Agung tidak memiliki izin edar. Hal ini diketahui dari hasil pemeriksaan yang dilakukan kepolisian.

"Setelah kami dalami dust cleaner ini tidak memiliki izin edar, sehingga penyidik menyimpulkan bahwa dengan adanya kegiatan pengadaan bahan alat pembersih lantai ini yang tidak sesuai dengan ketentuan," kata Direktur Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo kepada wartawan, Jumat, 23 Oktober.

Menurut dia, pejabat pembuat komitmen (PPK) Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah melakukan kerja sama dengan PT ARM selaku produsen cairan pembersih dust cleaner sejak 2018.

"Proses pengadaan yang dilakukan dan terjadi sudah kurang lebih dua tahun," kata Ferdy.

Kesepakatan penggunaan cairan pembersih ilegal itu diduga karena harganya yang murah. Padahal, kandungan pada cairan pembersih itu juga sangat berbahaya.

"Harusnya tahu (berbahaya). Makanya harusnya jangan digunankan tapi dia gunakan, mungkin harganya murah," kata dia.

Polri menetapkan delapan orang tersangka dalam kebakaran gedung Kejagung. Lima di antaranya merupakan pekerja bangunan berinisial T, H, S, K, dan IS. Mereka ditetapkan tersangka karena melanggar aturan tidak merokok di aula biro kepegawaian.

Sementara tiga lainnya yakni, UAM sebagai mandor, R yang merupakan Direktur PT ARM dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kejaksaan Agung, NH.

Penetapan tersangka terhadap UAM beralasan lantaran tidak mengawasi kelima tukang itu saat berkerja. Sementara, R dan NH ditetapkan tersangka karena membuat kesepakatan penggunaan cairan pembersih dash cleaner yang disebut mempercepat proses pembakaran.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 188 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.