KSPI Bakal Demo Sekaligus Judicial Review di MK 2 November
JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut pihaknya akan kembali menggelar aksi demonstrasi tolak Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin, 2 November mendatang.
Iqbal bilang, aksi akan digelar di sejumlah wilayah. Sementara, aksi inti di Jakarta akan melibatkan puluhan ribu buruh dan dipusatkan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Istana Negara.
"Aksi nasional buruh pada 2 November tersebut dilakukan serempak di 24 propinsi dan 200 kab/kota yang diikuti ratusan ribu buruh. Sedangkan aksi di Istana dan Mahkamah Konstitusi diikuti puluhan ribu buruh," kata Iqbal dalam keterangannya, Senin, 26 Oktober.
Terkait pemilihan lokasi aksi di sekitar gedung MK, Iqbal bilang hal ini dilakukan sekaligus dengan penyerahan permohonan uji materi atau Judicial review Undang-Undang Cipta Kerja ke MK.
"Pada saat penyerahan berkas judicial itulah, buruh melakukan aksi nasional dengan tuntutan agar Mahkamah Konstitusi membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja dan meminta Presiden untuk mengeluarkan Perpu untuk membatalkan UU Cipta Kerja tersebut," ucap Iqbal.
Baca juga:
- Ubah-Ubah Jumlah Halaman Draf UU Cipta Kerja: Trik Penguasa yang Juga Bisa Jadi Senjata Rakyat
- BEM Nusantara Pilih Judicial Review UU Cipta Kerja ke MK
- Tolak UU Cipta Kerja, SBY: Demokrat Partai Kecil Sekarang, Bukan Mau Melawan Negara
- Tolak UU Cipta Kerja, Mahasiswa Sulawesi Barat Duduki Ruang Paripurna DPRD
KSPI memutuskan tidak mengikuti aksi yang digelar oleh mahasiswa pada tanggal 28 Oktober mendatang. Sebab, Iqbal memprediksi bahwa Presiden Joko Widodo baru akan menandatangani dan memberi nomor Undang-Undang Cipta Kerja juga pada 28 Oktober.
Oleh sebab itu, Iqbal memilih waktu yang tepat untuk aksi dan mengajukan judicial review yakni pada tanggal 2 November karena berkasnya gugatannya telah siap.
"KSPI memperkirakan, Presiden akan menanda tangani UU Cipta Kerja dan penomorannya paling lambat 28 Oktober. Lalu, tanggal 29 - 31 Oktober ada libur panjang. Sehingga, serikat buruh akan menyerahkan berkas judicial review ke MK pada tanggal 2 November 2020," jelasnya.
Sebagai informasi, ada empat isu krusial yang merugikan buruh dalam Undang-Undang Cipta Kerja, mulai dari isu mengenai upah minimum, tentang status kontrak karyawan, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pengurangan pesangon.
Penghapusan upah minimum
Pemerintah menyebut bahwa UMP, UMK, dan UMSP tidak dihapus. Said Iqbal membenarkan upah minimum memang tidak dihapus. Namun, berdasarkan salinan draf yang dimiliki KSPI, UU Cipta Kerja hanya mengatur soal upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) bersyarat.
Pada UU Cipta Kerja, tertulis bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang juga mengatur soal Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Frasa "bersyarat" inilah yang menjadi dasar penolakan kaum buruh.
"Kalau dibilang masih ada UMK, ya UMK yang bagaimana? Yang ditolak buruh adalah kata-kata 'bersyarat'. Kita tidak mengenal itu. Dengan kata lain, kita meminta dikembalikan pada UU Ketenagakerjaan," jelas Said Iqbal.
Karyawan kontrak seumur hidup
Said Iqbal membantah narasi bahwa potensi karyawan dapat dijadikan kontrak seumur hidup adalah tidak benar. Potensi itu sebenarnya tetap ada.
Pada UU Ketenagakerjaan, batas kontrak kerja diatur dalam beberapa tahun. Jika pekerjaannya dianggap baik, maka pekerja wajib diangkat menjadi karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sementara, dalam UU Cipta Kerja, batasan waktu tersebut tidak diatur.
"Yang dimaksud kawan buruh itu ada potensi penghilangan karyawan tetap karena tidak ada batas waktu kontrak. Dampaknya, pengangkatan karyawan tetap tidak ada. Pemerintah jangan menjelaskan setengah-setengah, lah," jelas dia.
Jaminan kehilangan pekerjaan
Argumentasi pemerintah, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bisa didapat untuk masa kerja 1 tahun. Menurut Said Iqbal, ada kemungkinan hal tersebut bisa disiasati oleh perusahaan.
"Karena enggak ada batas waktu kontrak, perusahaan bisa saja buat kontrak 6 bulan atau 11 bulan, lalu putus putus kontrak, yang penting tidak sampai 1 tahun. Itu kan jadinya perusahaan enggak perlu bayar JKP," ungkapnya.
Pengurangan pesangon
Pemerintah menyebut pesangon tidak dihapus, hanya dikurangi. Dalam UU Ketenagakerjaan, skema pesangon 32 bulan upah, lalu dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi 25 bulan upah, dengan rincian 19 bulan upah dibayar pemberi kerja, dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan oleh pemerintah.
Iqbal memperkirakan BPJS tidak akan sanggup membiayai skema 6 bulan pesangon. Sebab, menurutnya, saat ini BPJS tengah mengalami defisit. Ketika defisit, pemerintah mengambil solusi menaikkan iuran BPJS.
"Ketika iuran BPJS dinaikkan, tentu buruh menolak. Masak, buruh membayar pesangon untuk dirinya? Makanya, kembalikan skema pesangon seperti dalam UU Ketenagakerjaan, jangan dihapus," imbuhnya.