Mahapenting Pelabuhan Tanjung Priok untuk Batavia
JAKARTA - Pelabuhan Tanjung Priok merupakan wilayah ekonomi penting di Jakarta. Di Pelabuhan itu, perputaran ekonomi begitu besar, bahkan jadi denyut utama perekonomian di Jakarta hingga kini. Kebesaran Pelabuhan Tanjung Priok telah diramalkan oleh kompeni jauh sebelum Indonesia merdeka. Pemerintah kolonial Belanda kala itu butuh pelabuhan yang lebih besar. Alhasil, Pelabuhan Tanjung Priok dibangun pada 1877.
Alasan pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok adalah karena Pelabuhan Sunda Kelapa yang mengalami pendangkalan. Kompeni pusing. Kapal-kapal uap tak mampu lagi bersandar di sana, hingga mereka yang berlayar dari mancanegara harus bersandar jauh di tepi pantai.
Akibatnya, bongkar muat barang membutuhkan waktu yang sangat lama karena harus diangkat dengan perahu terlebih dahulu. Dikutip Alwi Shahab dalam buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), lantaran segala problema yang ada, kompeni lalu memutuskan memindahkan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Dan terpilihlah kawasan Tanjung priok sebagai penggantinya. Walau jaraknya cukup jauh, sekitar 7 kilometer, Kompeni merasa hal itu merupakan opsi yang paling baik karena Terusan Suez, yang dapat mempersingkat perjalanan kapal telah dibuka pada 1869.
“Pada 1868, ketika Terusan Suez dibuka, yang mempersingkat pelayaran samudera dari Eropa ke Asia serta munculnya kapal-kapal uap, berpengaruh pada Batavia. Kota yang dibangun Jan Pieterszoon Coen kemudian ramai didatangi pendatang dari Eropa. Demikian pula dengan kapal-kapal samudra yang bongkar muat. Dibangunnya Pelabuhan Tanjung Priok bersamaan dengan pelabuhan SIngapura yang dibangun Raffles tahun 1819,” ungkap salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Alwi Shahab.
Ketika Tanjung Priok dipilih sebagai lokasi, kalangan pebisnis di Batavia banyak yang menentang karena jaraknya yang terlampau jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Untungnya, geliat investor yang datang untuk menanam modal di Batavia, membuat kehadiran pelabuhan Tanjung Priok yang baru selesai dibuat pada 1886, dapat diterima oleh segenap pebisnis.
Oleh sebab itu, kemunculan pelabuhan Tanjung Priok, kemudian menempati posisi utama dalam urusan impor-ekspor Jawa Barat. Saking ramainya, Tonase kapal-kapal sangat meningkat selama bertahun-tahun. Untuk itu, Pelabuhan Tanjung Priok diperluas kembali pada 1912. Hal itu tak lain karena hampir 200 kapal pada tahun tersebut menanti giliran untuk bersandar.
“Berkaitan dengan ekspor, hampir seluruh pengiriman teh Jawa dan produk-produk kina berlangsung di pelabuhan ini. Sedangkan untuk karet dan olahan minyak nabati, Tanjung Priok juga menempati tempat pertama di antara pelabuhan-pelabuhan Jawa lain. Pemindahan muatan beberapa produk, di antaranya timah Bangka, lada dan beberapa produk kayu dari pulau-pulau Luar, juga berlangsung di sini,” tulis Dr. J. Stroomberg dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).
Itu baru dari ekspornya saja. Tanjung Priok sebagai pelabuhan impor tak kalah mengesankan. Kala itu, Tanjung Priok menduduki peringkat pertama di antara pelabuhan-pelabuhan Jawa dalam hal impor bahan makanan maupun minuman. Bahkan Tanjung Priok menempati peringkat kedua setelah pelabuhan Surabaya, untuk barang-barang katun dan benang, mesin, perkakas, mobil, dan untuk beberapa barang kurang penting lainnya.
Setali dengan itu, pada perluasan pelabuhan pemerintah kolonial pun mulai membangun fasilitas pendukung di Tanjung Priok. Beberapa di antaranya penambahan jalur kerata api Batavia-Buitenzorg (Bogor), pendirian Stasiun Kereta Api Tanjung Priok, dan terusan air Ancol menuju Mangga Besar di samping jalur KA Priok-Jakarta Kota (Beos). Lainnya lagi, di kawasan itu turut dibangun pula jalan raya yang mengubungkan Tanjung Priok-Weltevreden (kawasan sekitar Lapangan Banteng) dan Meester Cornelis (Jatinegara).
Tanjung Priok sebagai Pelabuhan Penumpang
Sebelumnya pesawat terbang mulai digemari oleh penduduk Hindia-Belanda untuk berpergian, transportasi laut menjadi alternatif perjalanan antar negara yang dapat dijangkau oleh segenap masyarakat Hindia. Karena itu, Tanjung Priok menjadi salah satu pelabuhan di Jawa yang digemari sebagai pelabuhan penumpang.
Beberapa orang Belanda yang pernah datang ke Batavia untuk mengadu nasib sempat mengabadikan momentum kedatangan mereka ke Hindia-Belanda lewat Tanjung Priok. Salah satunya adalah serdadu Belanda H.C.C. Clockener Brousson. Dalam bukunya yang berjudul Batavia Awal Abad 20 (2004), anak Amsterdam yang baru pertama kali datang ke Batavia lewat Tanjung Priok, mengaku tak sabar untuk segera melangkahkan berjalan-jalan mengelilingi kota yang berjudul Ratu dari Timur.
“Ketika kami semakin mendekat, kami amati di antara orang-orang yang melambaikan tangan pada kami, yaitu orang-orang Eropa berpakaian khas berwarna putih, begitu pula orang pribumi berkulit sawo matang, dan orang Tionghoa berkulit kuning. Segera kami sadar, kami berada di Hindia di negeri Belanda yang tropis,” ungkap Clockener.
Sayangnya, Clockener sampai ke Batavia pada malam hari. Dalam artian, kebahagiaan bisa berjalan-jalan di Batavia harus tertunda sementara waktu. Hal itu tak lain karena Petugas pelabuhan baru mengizinkan para penumpang untuk turun kapal pada keesokan harinya. Kendati demikian, menginap di atas kapal di pelabuhan Tanjung Priok menjadi pengalaman yang tak bisa dilupakan oleh Clockener.
Baca juga:
“Para prajurit yang malang harus tinggal di atas kapal. Malam pertama kami di Hindia-Belanda ini sangat tak menyenangkan karena kami harus menghirup bau busuk rawa yang baunya luar biasa. Lalu, kemudian serbuan nyamuk-nyamuk Priok yang dengan semangat menghisap darah segar impor kami dari Belanda. Akibatnya, kami tak bisa tidur,” tambahnya.
Tak hanya Clockener, empat orang wanita Belanda bernama Dolly,Miny, Annie, dan Betsy malah masuk ke Indonesia pada saat situasi antara Indonesia-Belanda sedang genting pada 1947. Diceritakan oleh Hilde Janssen dalam buku Tanah Air Baru, Indonesia (2016), keempat wanita tersebut juga mengungkap pengalamannya ketika baru sampai di Tanjung Priok.
“Dengan mengenakan gaun musim panas terbaik mereka, Dolly dan kakak-beradik Miny, Annie, dan Betsy berlayar memasuki pelabuhan Jakarta (Tanjung Priok). Tepat pada hari pertama tahun baru, mereka menyapa tanah air yang baru. Mereka nyaris tak punya waktu untuk membentuk kesan pertama karena kedatangan yag kacau membutuhkan perhatian,” tutup Hilde Janssen.