Siapa Antara Trump-Biden yang Punya Uang Lebih Banyak di Pilpres AS?

JAKARTA - Hari berserajah masyarakat Amerika Serikat (AS) segera tiba. Pemimpin negara akan ditentukan kurang dari dua pekan ke depan. Entah Donald Trump yang akan bertahan atau Joe Biden yang mengambil alih posisi Potus. Hasil suara belum terlihat. Namun, yang jelas, dukungan finansial bagi Biden lebih besar ketimbang Trump.

Komisi Pemilihan Federal merilis data dana kampanye yang berhasil dikumpulkan dua kandidat. Pada awal Oktober, Biden mengumpulkan lebih banyak dana dengan angka 130 juta dolar AS, setara Rp1,9 triliun.

Angka itu tiga kali lipat dari yang berhasil dikumpulkan Trump: 44 juta dolar AS atau Rp647 miliar. Dana itu dikumpulkan dalam periode 1 hingga 14 Oktober.

Biden menghabiskan lebih dari dua kali lipat dari dana yang Trump kucurkan selama periode tersebut. Biden tercatat sangat unggul dalam manuver iklan politik di televisi AS.

Bukan jaminan

Meski begitu, keunggulan uang bukan jaminan kemenangan. Presedennya ada. Pada Pemilu 2016, Trump juga kalah dari kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton dalam penggalangan dana.

Posisi Biden memang tampak unggul sementara. Sebagian besar jajak pendapat publik nasional menempatkan Trump di buntut Biden dalam jarak yang tak begitu signifikan.

Empat pekan sebelum pemilihan presiden AS 3 November mendatang, lebih dari 3,8 juta warga negara telah memanfaatkan hak pilih melalui pemungutan suara lebih awal dan surat, menurut lembaga penyedia data pemilu Elections Project. Angka itu tercatat 75.000 suara lebih banyak dibandingkan periode yang sama pada pemilu 2016.

Lonjakan jumlah suara lebih dini menggambarkan kemungkinan capaian rekor jumlah pemilih dalam pertarungan politik antara Trump dan Biden. Kenaikan suara yang masuk lebih dini dipengaruhi oleh perluasan sistem pemungutan suara awal dan melalui layanan pos di banyak negara bagian.

Langkah itu dilakukan sebagai cara lebih aman memilih di tengah situasi pandemi COVID-19, menurut Michael McDonald daru Universitas Florida. McDonald, yang mengelola Elections Project juga menyebut munculnya keinginan publik untuk ikut serta dalam menentukan masa depan politik Trump.

"Kita tak pernah melihat orang sebanyak ini memanfaatkan hak suara jauh hari sebelum pemilu. Masyarakat memilih ketika mereka memutuskan, dan kita tahu bahwa banyak orang telah memutuskan sejak lama dan sudah mempunyai penilaian tentang Trump," kata McDonald.

Dengan angka pemilih awal yang tinggi itu, McDonald memprediksi jumlah pemilih total nantinya mencapai 150 juta orang, mewakili 65 persen dari daftar pemilih. Angka itu bisa jadi persentase tertinggi sejak 1908.

Jumlah 3,8 juta lebih suara yang sudah masuk itu sejauh ini datang dari 31 negara bagian. Jumlah itu akan bertambah cepat dalam beberapa pekan ke depan, mengingat lebih banyak negara bagian menggelar pemungutan suara awal dan via surat.

Persentase pemilih yang memberikan hak suara lewat secara langsung pada hari pemungutan suara 3 November sudah mengalami penurunan sebelum pemilu tahun ini, menurut Komisi Bantuan Pemilu. Angka total suara masuk lewat pemungutan suara awal atau via surat telah bertambah lebih dari dua kali lipat, dari hampir 25 juta pada 2004 menjadi 57 juta suara pada 2016.