Ada Pasal yang Dihapus, Pengamat: Bukti UU Cipta Kerja Kacau

JAKARTA - Pernyataan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas mengenai adanya satu pasal yang dihilangkan dari naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap mengejutkan dan harusnya bisa menjadi bukti jika undang-undang ini memang kacau balau. 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus bahkan mengatakan, pernyataan Andi yang menyebut pasal tersebut harusnya sudah dihapus sejak awal karena tak disetujui saat pembahasan tapi tak sengaja dimasukkan kembali juga menimbulkan pertanyaan.

"Pengakuan adanya penghapusan ketentuan terkait minyak dan gas bumi oleh Setneg menjadi bukti UU Cipta Kerja ini kacau balau. Sangat tak layak sebuah UU jika di dalamnya ada pasal-pasal yang tak disadari keberadaannya bahkan oleh pembuatnya," kata Lucius kepada wartawan, Jumat, 23 Oktober.

Klarifikasi Andi juga dianggap menjengkelkan karena setelah meyakinkan masyarakat jika tak ada pasal yang diubah, belakangan usai naskah diserahkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) perubahan itu justru terjadi. Selain itu, klarifikasi dari Ketua Baleg DPR RI itu juga tak mengindikasikan adanya penyesalan sehingga mengesankan utak-atik pasal adalah suatu hal yang biasa dalam membuat produk legislasi.

"Seolah-olah apa yang terjadi adalah sesuatu yang biasa, seolah-olah utak-atik pasal menjadi hal yang lumrah sehingga tak perlu lagi disesalkan," tegasnya.

Padahal, selain menunjukkan UU Cipta Kerja adalah produk legislasi yang kacau, pernyataan tersebut juga bisa dianggap bahwa naskah Cipta Kerja yang ada selama ini adalah akal-akalan saja. Lucius juga menduga, penghapusan pasal tersebut bukan karena sekadar membereskan keteledoran tapi karena Pasal 46 mengenai minyak dan gas bumi ini adalah pasal selundupan.

"Saya melihat ada potensi kejahatan di balik kekacauan naskah dan berikut isi UU Ciptaker ini sebagaimana terungkap melalui penghapusan oleh Setneg ini," tegasnya.

Sehingga, berkaca dari dugaan tersebut, Lucius kemudian mendesak adanya pertanggungjawaban hukum dan politik. Polisi atau kejaksaan, kata dia, harus menelusuri penyusunan UU Cipta Kerja untuk membuktikan motif keberadaan pasal yang dihapus oleh Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg). 

Sementara dari sisi politik, Lucius mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang cacat legitimasi.

"Adanya kekacauan naskah itu harusnya mendorong presiden secara politik untuk menggunakan kewenangannya membatalkan UU ini," katanya.

"Presiden harus menganggap ini sesuatu yang serius bagi dirinya karena ia bisa dianggap mendesain sebuah undang-undang yang isinya tidak bisa dipertanggungjawabkan," imbuhnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas mengakui bahwa ada satu pasal hilang pada Undang-Undang Cipta Kerja yang kembali mengalami perubahan menjadi 1.187 halaman, yakni Pasal 46 tentang Badan Pengaturan Pendistrubusian Minyak dan Gas Bumi.

Perubahan halaman ini mulanya diketahui pemerintah ketika menyerahkan naskah UU Cipta Kerja kepada Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang setebal 1.187 halaman. Padahal, sebelumnya DPR menyerahkan naskah setebal 812 halaman kepada pemerintah.

"Terkait Pasal 46 yang mengalami koreksi itu, itu benar. Jadi, kebetulan Setneg yang temukan, itu seharusnya memang dihapus," kata Supratman saat dikonfirmasi, Kamis, 22 Oktober.

Kata Supratman, dalam pembahasan UU Cipta Kerja sebelum disahkan, pemerintah ingin ada pengalihan kewenangan toll fee dari BPH Migas ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal itu sempat diutarakan dalam rapat Panitia Kerja DPR RI. Namun, Panja tidak menerima usulan tersebut dan tak jelas alasan Baleg DPR RI luput mengubah usulan pemerintah yang tertuang dalam Pasal 46 itu.

"Tetapi dalam naskah yang tertulis itu yang kami kirim ke setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4. Karena tidak ada perubahan, oleh Setneg itu mengklarifikasi ke Baleg," jelas Supratman.

Itulah sebabnya Pasal 46 dihapus dalam UU Cipta Kerja yang kini menjadi 1.187 halaman. "Seharusnya memang dihapus, karena kembali ke undang-undang eksisting, jadi tidak ada di Undang-Undang Cipta Kerja," tutur dia.