Polemik Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Kemenkum HAM: yang Dipidana Saat Menyerang Harkat dan Martabat
JAKARTA - Plh Dirjen PP Kementerian Hukum dan Keamanan (Kemenkum HAM) Dhahana Putra mengatakan penerapan pasal penghinaan presiden di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak akan menyasar mereka yang memberi kritik. Hanya yang menyerang harkat dan martabat akan dijatuhi hukuman pidana.
Hal ini disampaikan Dhahana menanggapi banyaknya polemik di masyarakat tentang Pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
"Pada saat kita bicara RKUHP yang bisa dipidana adalah pada saat dia menyerang harkat dan martabatnya. Contohnya adalah 'ini presiden enggak jelas statusnya, enggak jelas keluarganya'. Pokoknya menyerang harkat dan martabatnya," kata Dhahana dalam diskusi yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 7 Juni.
Dhahana menegaskan aturan tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakilnya ini penting untuk dimasukkan ke dalam RKUHP. "Jangankan presiden, kita pun kalau diserang harkat dan martabatnya kita akan marah," tegasnya.
"Apalagi presiden yang dipilih seluruh masyarakat Indonesia. Sekarang ini kan 265 juta penduduk, mungkin yang punya hak pilih setengah. Jadi bisa bayangkan dengan konteks seperti ini kami butuh pasal itu," imbuh Dhahana.
Meski begitu, dia menegaskan masyarakat tetap boleh mengkritisi presiden. Apalagi, jika ada program yang tak berjalan.
"Kalau sifatnya kritik, presiden enggak bagus dari segi program, presiden enggak mampu menjalankan programnya itu hanya kritik. Tapi kalau menyerang harkat dan martabatnya itu bisa dipidana," ungkapnya.
Perihal polemik ini, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy juga sudah pernah menjelaskannya. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI pada Rabu, 25 Mei lalu, dia menjelaskan Pasal 218 RKUHP itu bersifat delik aduan.
"Terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat, tadinya delik biasa menjadi delik aduan," kata Eddy saat itu.
Eddy juga menjelaskan pasal ini sama sekali tidak menghidupkan kembali pasal yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga:
Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda," ungkapnya.
"Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu delik biasa, sementara yang ada dalam RKUHP ini adalah delik aduan," imbuh Edy saat itu.
Sebagai informasi, dalam pembahasan RKUHP pada tahun 2021 lalu , pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tertuang dalam Pasal 218 hingga 220 RKUHP terbaru. Penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.
Bila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara. Sementara itu, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara