Bagikan:

JAKARTA - Anggota DPR Komisi III dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan balik bertanya soal tudingan pasal penghinaan presiden dan wakilnya di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dianggap tak demokratis.

Pembahasan ini disampaikan untuk menanggapi adanya polemik dari publik. Apalagi, dalam rancangan perundangan ini disebutkan penghina presiden dan wakilnya di depan umum dapat diancam penjara 3,5 tahun.

"Tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden pasal 218, negara kita (disebut, red) tidak demokratis. Kata siapa," kata Arteria dalam diskusi yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 7 Juni.

Arteria mengatakan penerapan pasal ini sebenarnya sudah tepat. "Ini delik aduan. Wong menghina kepala negara sahabat saja pakai undang-undang ini dihukum masa kepala negara kita enggak dihukum," tegasnya.

Dia memastikan pasal ini tak akan membungkam kritik dari masyarakat terhadap pemerintah, termasuk presiden. Kata dia, kepala negara boleh tetap dikritik dan tak akan dikenakan pasal-pasal tertentu.

Selain itu, Arteria mengungkap penerapan pasal ini juga akan dilakukan secara bermartabat dan beradab. Apalagi, dalam RKUHP, pasal ini berupa delik aduan yang hanya bisa dilakukan oleh presiden langsung bukan orang lain.

"Kritik silakan jalan terus. Enggak mungkin dipakai-pakai pasal-pasal ini Jadi memang harus dicermati betul," ungkapnya.

Sebelumnya, Plh Dirjen PP Kementerian Hukum dan Keamanan (Kemenkum HAM) Dhahana Putra mengatakan penerapan pasal penghinaan presiden di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak akan menyasar mereka yang memberi kritik. Hanya yang menyerang harkat dan martabat akan dijatuhi hukuman pidana.

"Pada saat kita bicara RKUHP yang bisa dipidana adalah pada saat dia menyerang harkat dan martabatnya. Contohnya adalah 'ini presiden enggak jelas statusnya, enggak jelas keluarganya'. Pokoknya menyerang harkat dan martabatnya," kata Dhahana dalam diskusi yang sama.

Dhahana menegaskan aturan tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakilnya ini penting untuk dimasukkan ke dalam RKUHP. "Jangankan presiden, kita pun kalau diserang harkat dan martabatnya kita akan marah," tegasnya.

"Apalagi presiden yang dipilih seluruh masyarakat Indonesia. Sekarang ini kan 265 juta penduduk, mungkin yang punya hak pilih setengah. Jadi bisa bayangkan dengan konteks seperti ini kami butuh pasal itu," imbuh Dhahana.

Meski begitu, dia menegaskan masyarakat tetap boleh mengkritisi presiden. Apalagi, jika ada program yang tak berjalan.

"Kalau sifatnya kritik, presiden enggak bagus dari segi program, presiden enggak mampu menjalankan programnya itu hanya kritik. Tapi kalau menyerang harkat dan martabatnya itu bisa dipidana," ungkapnya