7 Catatan YLBHI Setahun Jokowi-Ma'ruf: Visi Misi Jauh Panggang dari Api
JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai realisasi visi dan misi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin masih jauh panggang daripada api. Penyebabnya karena dalam setahun kebijakan pemerintah justru tampak melemahkan penegakan hukum dan HAM.
Padahal, saat Jokowi mencalonkan diri untuk maju kembali di periode kedua, dia memiliki sejumlah visi misi seperti menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya yang dibagi dalam sejumlah poin yaitu melanjutkan penataan regulasi, melanjutkan reformasi sistem serta penegakan hukum, pencegahan dan pemberantasan korupsi hingga penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.
"Setelah setahun berlalu, realisasi misi Jokowi-Ma'ruf jauh panggang dari api. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam setahun terakhir ini justru memperlemah penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, menghancurkan lingkungan, dan merampas ruang hidup masyarakat," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 21 Oktober.
Baca juga:
Setidaknya ada tujuh poin yang menjadi catatan pihaknya dalam setahun Jokowi-Ma'ruf.
Pertama adalah disetujuinya dan ditandatanganinya revisi UU KPK. Berdasarkan catatan 100 hari Jokowi-Ma'ruf Amin, YLBHI menganggap revisi undang-undang ini justru memperlemah lembaga antirasuah tersebut karena adanya Dewan Pengawas KPK hingga berubahnya status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).
"Satu persatu indikasi tersebut terbukti. Pada bulan Juli lalu, PP 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN disahkan. Selain itu integritas pimpinan KPK perlu dipertanyakan. Ketua KPK, Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik dengan menggunakan helikopter saat berkunjung ke Baturaja, Sumatera Selatan. Sementara putusan etik Dewan Pengawas KPK hanya memberikan teguran tertulis kepada Ketua KPK. Menurut ketua Dewan Pengawas, pelanggaran yang dilakukan tidak disadari oleh Firli Bahuri. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa ketua KPK tidak memahami kode etik lembaganya sendiri," ungkap dia.
Poin kedua adalah penyetujuan dan penandatanganan revisi UU Minerba. Menurut Isnur, revisi undang-undang ini hanya menguntungkan kelompok pengusaha tambang dan mengancam lingkungan hidup dan masyarakat. Apalagi, dalam salah satu pasal, yaitu Pasal 169A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dilakukan tanpa pelelangan.
"Sehingga, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masing-masing paling lama selama 10 tahun," kata dia.
Selanjutnya, disetujui dan ditandatanganinya revisi UU Mahkamah Konstitusi yang dalam waktu tujuh hari pembahasan kemudian disahkan oleh DPR RI. "DPR memaksakan revisi UU ini meski tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020. Tetapi, meski YLBHI bersama Koalisi meminta Presiden Joko Widodo menolak revisi ini, presiden malah terus menyetujui dan menandatangani revisi ini," jelas Isnur.
Keempat adalah mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja yang berpolemik. Menurutnya, dengan disahkannya UU Cipta Kerja pada Senin, 5 Oktober lalu membuat paket agar oligarki makin berkuasa makin kuat. Adapun paket ini diawali dengan revisi UU KPK untuk memudahkan gerak mereka.
"Diawali dengan revisi UU KPK yang bertujuan agar memudahkan gerak dari para Oligarki, dilanjutkan dengan revisi UU Minerba yang memperpanjang keistimewaan perusahaan tambang besar di Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan revisi UU Mahkamah Konstitusi yang menjadi gula-gula dalam memuluskan jalan para Oligarki. Lalu ditutup dengan disahkannya UU Cipta Kerja yang bermasalah bahkan sebelum aturan ini lahir," tegas Isnur.
Kelima, YLBHI juga menyoroti masalah konflik agraria dan lingkungan hidup yang makin marak. Setidaknya, dari Januari hingga Agustus tahun ini, Isnur mengatakan lembaganya itu telah mencatat ada 79 konflik agraria dan lingkungan hidup yang berujung pada kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat.
Selanjutnya, poin keenam yang jadi catatan YLBHI adalah makin terbungkamnya kebebasan berpendapat. Setidaknya, ada 28 indikator yang menguatkan hal itu dengan tiga pola yang mengindikasikan bangkitnya otoritarianisme di Indonesia. Adapun tiga pola yang dimaksud adalah adanya upaya penghambatan kebebasan sipil berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan; mengabaikan hukum yang berlaku baik konstitusi, TAP MPR maupun peraturan perundang-undangan; dan memiliki watak yang represif yang mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.
Tanda-tanda lain soal pembungkaman kebebasan berpendapat juga tercermin dari Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020 mengatakan bahwa Polri juga harus mengalihkan isu unjuk rasa menolak Omnibus Law untuk mencegah penularan masif COVID-19 dan hal ini bertentangan dengan hak menyampaikan pendapat dan Perkapolri No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Selain itu, Isnur juga menilai polisi sudah menjadi alat kekuasaan pemerintah karena dalam surat itu, Kapolri juga memerintahkan pula adanya polisi siber untuk menyisir pernyataan-pernyataan yang mencoba membangun narasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Dia juga menyinggung adanya kekerasan terhadap massa aksi juga terus terjadi. Berdasarkan data kepolisian per 13 Oktober 2020 tercatat 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi. Selain penangkapan terhadap massa aksi, polisi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang meliput demonstrasi di berbagai kota. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 28 wartawan di 38 kota yang mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law.
Poin terakhir adalah diabaikannya penyelesaian pelanggaran HAM berat massa lalu. Menurut Isnur, dalam catatan LBH-YLBHI, Presiden Jokowi tidak menjadikan HAM sebagai hal penting yang harus diperhatikan sebelum mengambil kebijakan. Hal ini terlihat dari tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Selain itu, dalam catatan Komnas HAM, hingga saat ini masih terdapat 12 kasus pelanggaran HAM yang berat yang belum memiliki kepastian hukum. Dalam catatan yang sama, Komnas HAM menyebutkan hanya tiga kasus yang ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Tiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura.
Sehingga, berkaca dari tujuh poin yang telah dipaparkan Isnur tersebut, dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, YLBHI lantas memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintahan terikat pada Konstitusi. Lembaga ini juga mendesak agar Presiden Jokowi mencabut kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia serta mendesak pemerintah menghormati hukum dan hak asasi manusia dan melindungi warga negaranya.